November 24, 2017 by Tia Esha Nombiga
 |
Thanon Na Phra Lan Road, Bangkok |
Siang itu tanggal 05 September 2016, aku mendapatkan panggilan masuk dari Nurul, teman
seangkatanku semasa kuliah dulu. Alasan dia meneleponku siang itu untuk
menawari ajakan backpacking ke luar
negeri pada awal tahun depan. Aku yang mulai tertarik dengan dunia travelling langsung mengiyakan ajakan
Nurul. Kami terlibat perbincangan yang cukup lama untuk memilih tujuan negara yang
cocok. Dari tiga negara yang masuk dalam daftar rencana tujuan, yaitu Macau,
Vietnam dan Thailand, maka dipilihlah Thailand dengan berbagai alasan. Di
samping banyak penyedia tiket pesawat promo yang bersliweran, biaya hidup di
Thailand masih terbilang murah dan informasi mengenai Thailand mulai dari pergi
sampai pulang mudah ditemui di Internet. Selain aku dan Nurul, kami mengajak 2
orang teman kami lainnya, dan kalian tahu? Ini pengalaman pertama kami pergi
keluar negeri tanpa travel agency dan
keluarga. Setelah semua setuju, kami memilih tanggal keberangkatan yang sesuai
dengan tanggal dengan tarif terendah dari salah satu maskapai Low-Cost Airline di Indonesia, maka
dipilihlah tanggal 05 Maret 2017. Harga tiket Round Way yang kami peroleh sebesar Rp 1.318.000 tersebut terbilang
sangat murah untuk tujuan Jakarta – Bangkok. Terimakasih Nurul yang
sudah membantu kami mencarikan tiket semurah itu HEHEHE
DAY 1 (05 MARET 2017) : PASAR
CHATUCHAK
Cuaca pagi yang cerah seperti
memberi tanda sinyal bahwa penerbangan kami yang dijadwalkan pukul 14.00 WIB
dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Don Mueang Bangkok akan berjalan
dengan mulus tanpa guncangan. Betul sekali. Perjalanan kami selama 3 jam sangat
minim turbulensi. Tidak ada perbedaan waktu antara Kota Jakarta dengan Bangkok
sehingga kami tiba di Kedatangan Terminal 1 Bandara Don Mueang Bangkok tepat pukul
17.00 waktu setempat. Saat melewati pintu pemeriksaan imigrasi, kami hampir tidak
menemui kesulitan sama sekali. Berbeda dengan Singapura yang kerap melakukan random checking pada turis asing yang
hendak memasuki negara Singapura. Setelah berhasil melewati pintu imigrasi,
kami mencari outlet penjual kartu SIM lokal agar dapat menikmati fasilitas
internet tanpa roaming yang terletak di depan Exit Gate. Tujuan utama membeli
kartu SIM lokal agar dapat membuka google
maps karena kami sadar baru pertama kali menginjakkan kaki di Bangkok.
Waktu itu kalau tidak salah harganya sebesar 296 THB (Rp 120.000) untuk data
sebanyak 2 GB. Cukup mahal memang karena dijual di bandara. Keluar dari Exit Gate Kedatangan Terminal 1,
kami disambut oleh jejeran bus berukuran seperempat bertuliskan A1 yang
dikhususkan sebagai armada antar jemput bandara. Perjalanan kami selanjutnya yaitu
menuju BTS N8 Mo Chit (BTS “Bangkok Train
Station” adalah sebutan untuk perberhentian moda transportasi kereta di
Bangkok yang terletak di atas jembatan layang atau sky train) dengan lama perjalanan kurang lebih 20 menit. BTS Mo Chit terletak
tidak jauh dari pasar yang sangat terkenal di Bangkok bernama Pasar Chatuchak. Berhubung
masih berada pada satu area, kami mampir sebentar ke Pasar Chatuchak walaupun
dalam keadaan menenteng koper. Pasar Chatuchak ini masih ramai pengunjung
walaupun hari sudah malam. Pengunjung didominasi kalangan muda, baik turis
asing maupun warga lokal. Ada hal menarik yang kami temui saat menyusuri Pasar Chatuchak,
yaitu pedagang wanita Thailand yang fasih berbahasa Indonesia. Saat kami tanya,
beliau belum pernah berkunjung ke Indonesia, karena terlalu banyak turis asal
Indonesia maka beliau mempelajari bahasa Indonesia secara autodidaktik. Cukup
menarik. Kami memborong dagangannya yaitu manisan mangga/pack seharga 150 THB (Rp 61.000) dan Nestea Thai Milk Tea 15 sachet/pack seharga 120 THB (Rp 48.600) dengan bonus masing-masing 1 bungkus keripik pisang.
 |
BTS Sky Train Map (photo by asiantraveltips) |
 |
BTS Sky Train Ticket Machine (photo by asiantraveltips) |
FYI panduan menggunakan BTS Sky Train dengan mesin tiket mandiri yaitu:
1. Sentuh stasiun yang ingin dituju pada layar map, misalnya Saphan Taksin
2. Masukkan koin atau uang kertas sesuai dengan tarif yang tertera di tiap stasiun tujuan yang berada di dalam lingkaran (tidak selalu uang pas, mesin akan mengembalikan uang Anda)
3. Ambil tiket yang keluar, selesai
 |
Single Journey Ticket BTS |
 |
Suasana di dalam BTS Siam - Saphan Taksin |
Setelah dirasa cukup puas
menyusuri Pasar Chatuchak dan badan mulai lelah, kami bergegas kembali menuju
penginapan di daerah Bang Rak bernama Glur Bangkok Hostel and Coffee Bar. Untuk menuju Glur Bangkok Hostel, kami menaiki kereta dari BTS N8 Mo Chit, lalu transit terlebih dahulu di BTS Siam untuk sampai ke BTS terdekat yaitu BTS S6 Saphan Taksin. Lokasi
Glur Bangkok Hostel ini sangat terjangkau karena terletak hanya beberapa meter
dari Sathorn Pier dan BTS Saphan Taksin. Tarif per malam Glur Bangkok
Hostel ini memang ditujukan untuk backpacker,
yaitu hanya sebesar Rp 70.000 untuk kamar mix
dorm dengan jumlah 8 bunk beds per
room (harga merupakan penawaran saat promo, jika harga normal, kurang lebih Rp. 120.000). Harga terbilang murah karena sudah
termasuk sarapan, makan sereal, dan minum susu kotak atau kopi sepuasnya yang
dapat diambil di cozy room. Kalap dong kita, tiap malam ngobrol di cozy room sampai jam 01:00 cuma buat ngabisin sereal dan susu HEHEHE... Pelanggan
Glur Bangkok Hostel ini didominasi turis asal Eropa/Amerika. Pegawainya pun
cukup ramah dan fasih berbahasa Inggris. Selain itu, di depan hostel terdapat tempat makan yang bernama Bangrak Bazzar yang dapat dijadikan alternatif pengganti makanan di
hostel yang cukup mahal bagi backpacker.
 |
Glur Bangkok Hostel dari dalam |
 |
Glur Bangkok Hostel dari luar |
 |
Glur Bangkok Hostel and Coffee Bar
(45 Charoen Krung 50 Alley, Khwaeng Bang Rak,
Khet Bang Rak, Krung Thep Maha Nakhon 10500, Thailand) |
DAY 2 (06 MARET 2017): GRAND
PALACE - WAT PHO - ASIATIQUE THE RIVERFRONT
Itinerary hari kedua mengajak
kami menuju The Grand Palace dan Wat Pho dengan menggunakan moda transportasi kapal
yang berlayar dari Sathorn Pier dan berlabuh di Tha Chang Pier. Sungai Chao
Phraya membelah Kota Bangkok sehingga kapal menjadi transportasi alternatif
untuk mempersingkat perjalanan. Ada banyak jenis kapal yang mengangkut penumpang
ke beberapa tempat di Bangkok. Kapal tersebut dibedakan menjadi dua yaitu Chao Phraya Tourist Boat dan Chao Phraya Express Boat. Chao Phraya Tourist Boat ini memang
dikhususkan untuk turis yang ingin menyusuri sungai Chao Phraya sejauh 21 KM dengan
model hop on-hop off seperti bus tour tanpa atap di Jakarta sedangkan
Chao Phraya Express Boat dikhususkan
untuk umum. Kami memilih Chao Phraya
Express Boat karena harga lebih murah dan memang tujuan kami hanya satu
tempat. Jenis kapal ini dibedakan lagi berdasarkan warna bendera. Untuk menuju The Grand Palace dan Wat Pho, kami menggunakan kapal berbendera oranye dengan tarif
17 THB (Rp 7000) yang akan ditagihkan di atas kapal. Pagi itu kapal sangat
penuh sesak didominasi oleh turis asal Korea dan Bule Eropa/Amerika.
 |
Sathorn Pier |
 |
Sungai Chao Phraya dari Chao Phraya Express Boat |
Setibanya di N9 Tha Chang
Pier, kami berjalan tidak jauh menuju persimpangan jalan sekitar The Grand Palace. Dari
persimpangan sudah terlihat megahnya jejeran kuil di The Grand Palace. The Grand Palace
merupakan kediaman resmi keluarga kerajaan Thailand sekaligus kantor
pemerintahan yang dibangun sejak tahun 1782 setelah Raja Rama I naik takhta. Namun
sejak pemerintahan Raja Rama V, The Grand Palace tidak lagi dijadikan sebagai kediaman resmi
keluarga kerajaan, namun hanya digunakan saat diadakan upacara keagaaman
saja. The Grand Palace dibangun dengan gaya arsitektur neo-baroque seperti istana kerajaan di Eropa namun tetap
tidak mengesampingkan khas negaranya. Tarif untuk memasuki The Grand Palace sebesar
500 THB (Rp 202.500). Tarif tersebut sudah termasuk memasuki area Wat Phra Kaew
yang merupakan area paling suci karena terdapat patung Emerald Buddha setinggi
66 centimeter. Sinar matahari pada saat itu sangat terik karena Bangkok sedang
memasuki musim panas sehingga membuat kami mudah mengalami lelah. Apalagi area The Grand Palace ini sangat luas dan butuh waktu seharian untuk menelusuri semua
area sampai tuntas. Untuk memasuki The Grand Palace, kita dilarang keras menggunakan ripped jeans dan hot pants. Jika telanjur memakai celana tersebut, pengelola The Grand
Palace akan menyewakan kain penutup seperti di Bali dengan membayar biaya tambahan.
 |
Wat Phra Kaew "The Temple of the Emerald Buddha" |
 |
The Grand Palace dari depan |
 |
Phra Mondop |
 |
Chakri Maha Prasat Hall "The Royal Residence" |
 |
The Demon Guardians |
 |
Kami diajak groufie oleh Ahjumma :D |
Rencana kami selanjutnya yaitu
Wat Pho yang berjarak tidak jauh dari The Grand Palace sehingga dapat ditempuh
dengan berjalan kaki. Sebelum menuju The Grand Palace, aku membeli konsentrat
mangga seharga 25 THB (Rp 10.000) dan potongan buah mangga seharga 30 THB (Rp
12.200) untuk menghilangkan dahaga. Wat Pho ini merupakan lokasi dimana The Reclining Buddha atau sebutan yang
sering kita dengar Patung Buddha Tidur berada. Tarif tiket masuk Wat Pho
sebesar 100 THB (Rp 40.500) sudah termasuk sebotol air minum yang dapat
ditukarkan di pintu masuk. Wat Pho ini memang tidak seluas The Grand Palace namun
keindahan kuil Buddhist ini tidak diragukan juga. Di Wat Pho ini memang lebih
banyak disuguhi patung Buddha berlapis emas daripada bangunan megahnya. The Reclining Buddha atau Phra Buddha
Saiyas atau Patung Buddha Tidur memiliki panjang 46 meter dan tinggi 15 meter
dengan berlapis emas 18 karat. Patung Buddha Tidur ini menjadi salah satu
destinasi wisata paling terkenal di dunia. Sebelum memasuki area tempat Patung
Buddha Tidur berada, kami diwajibkan untuk melepas alas kaki. Sangat sulit
mengabadikan foto di depan patung karena banyaknya turis yang berlalu lalang
dan berhenti untuk berswafoto juga. Selain Patung Buddha Tidur, ada banyak
patung Buddha emas lainnya dengan gaya yang berbeda. Ada yang bermeditasi
ataupun duduk di atas batu.
 |
Tiket masuk Wat Pho |
 |
Phra Buddha Saiyas "The Reclining Buddha" |
 |
The Colonnades |
 |
Phra Buddha Chinnasari |
 |
Phra Maha Chedi Sri Rajakarn "The Great Pagodas of Four King" |
 |
Jajanan kaki lima sekitar Wat Pho |
Kami kembali ke Tha Chang Pier
dengan menggunakan jasa transportasi Tuk Tuk. Tuk Tuk merupakan moda transportasi
darat khas Thailand seperti oplet yang paling mendunia. Mumpung sedang berada
di Thailand, kami mencoba transportasi tersebut, di samping itu badan sudah
mulai terasa lelah jika harus berjalan kaki. Untuk dapat menaiki Tuk Tuk, kita
perlu pintar-pintar menawar karena jika tidak, supir akan memberikan harga
tinggi. Saat itu kami dikenai tarif sebesar 75 THB (Rp 30.000) setelah bersusah
payah menawar.
Selanjutnya tujuan kami adalah
Asiatique The Riverfront yang memang hanya dibuka pada malam hari. Untuk menuju
Asiatique The Riverfront, kita bisa menggunakan jasa angkutan shuttle boat gratis yang hanya
beroperasi dari pukul 16:00 – 00:30 dari Sathorn Pier. Saat itu kami berangkat
pukul 19:00. Antrian pun tidak terlalu mengular karena mungkin pengunjung sudah
berangkat sedari pukul 16:00. Selama menyusuri sungai Chao Phraya pada malam
hari, kami disuguhi pemandangan lampu-lampu dari Asiatique dan Mekong Ferris Wheel. Di Asiatique ini terdapat
restoran, pertunjukan musik, dan pusat oleh-oleh yang didesain sangat megah
seperti Gading Walk di Jakarta. Walaupun terlihat megah dan mahal, ternyata
barang yang dijajakan terbilang cukup murah. Aku membeli oleh-oleh pakaian
untuk keponakan yang berumur 4,5 dan 1,5 tahun dengan harga rata-rata 74 THB (Rp
30.000) pada pedagang yang berasal dari Sri Lanka. Aku mengobrol banyak dengan
pedagang ini karena sangat ramah, sampai menanyakan dimana asalku dan sudah
pernah pergi ke Bali HEHEHE Indonesia selalu saja dikenal dengan Bali. Tak terasa
jam sudah menunjukkan pukul 23:00, yang mana sebentar lagi jam operasional shuttle boat gratis akan berakhir. Kami
bergegas mengantre kapal untuk kembali menuju penginapan.
 |
Gemerlap malam dari atas shuttle boat |
 |
Suasana di shuttle boat |
 |
Asiatique the Riverfront |
DAY 3 (07 MARET 2017): MBK CENTER - SIAM PARAGON - BANGKOK ART & CULTURE
CENTER - KHAOSAN ROAD
Hari ketiga selama di Bangkok
memang kami khususkan untuk mencari oleh-oleh. Kami memilih kawasan Siam
setelah mencari beberapa informasi dari blog
traveller yang mengatakan bahwa ada sebuah mall yang dihuni ribuan tenant yang menjual berbagai aksesoris,
pakaian, makanan dan minuman khas Bangkok dengan harga yang lebih murah. Nama
mall tersebut adalah MBK Center (Ma Boon Khrong Center). Jika dilihat dari luar, mall tampak megah, tidak
kalah megah dengan pesaingnya yaitu Siam Paragon namun ketika sudah berada di
dalam, suasana mall tak jauh berbeda dengan ITC seperti di Jakarta. Di MBK
Center, kami menemukan minuman Nestea Thai Milk Tea yang berharga lebih
murah dari harga Nestea yang kami beli di Pasar Chatuchak dan Asiatique. Tanpa pikir
panjang, aku memborong minuman Nestea yang memang cukup terkenal di Bangkok
sebanyak mungkin (kalau beli melalui e-commerce
akan lebih mahal). Fyi harga Nestea 15 sachet/pack di Pasar Chatuchak
sebesar 120 THB (Rp 48.600) sedangkan di MBK Center hanya sebesar 95 THB (Rp
38.500). Transportasi menuju MBK Center ini sangat mudah karena terletak tidak
jauh dari BTS W1 National Stadium. Hanya berjalan kaki beberapa meter melalui sky walk,
kalian akan tiba di antara dua mall yaitu Siam Paragon dan MBK Center.
 |
MBK Center dari sky walk |
Setelah hampir setengah hari
menyusuri MBK Center, perut kami mulai terasa lapar. Kami menemukan food court
yang cukup nyaman dengan pilihan makanan dan minuman yang bervariasi di area
luar MBK Center. Kami membeli Pad Thai seharga 37 THB (Rp 15.000), Mango Sticky
Rice seharga 100 THB (Rp 40.500), Coconut Ice Cream seharga 25 THB (Rp 10.000),
dan konsentrat mangga seharga 25 THB (Rp. 10.000). Selanjutnya perjalanan kami
adalah menuju Siam Paragon hanya sekedar melihat-lihat suasana karena harga barang
yang dijual tidak sesuai dengan kantung backpacker.
Mall bernama Siam Paragon ini memang ditargetkan untuk kalangan menengah ke
atas dengan menjual barang-barang brand terkenal. Dari Siam Paragon ini kita akan terhubung ke Siam Discovery dimana Madame Tussauds Bangkok berada. Kami memang tidak masuk ke dalam Madame Tussauds, cukup selfie gratis dengan patung lilin Om George Clooney di depan HEHEHE. . .
 |
Coconut Ice Cream, Mango Sticky Rice, dan Pad Thai |
 |
Madame Tussauds Bangkok dari luar |
 |
Berpose dengan Om George Clooney |
Sebenarnya Bangkok Art & Culture Center tidak masuk ke dalam itinerary, karena kami menemukan tempat ini secara tidak sengaja. Berhubung sepertinya ini adalah tempat yang sangat menarik, maka kami menyempatkan untuk masuk sebelum melanjutkan perjalanan. Bangkok Art & Culture Center ini menampilkan lukisan-lukisan hasil karya seniman, baik lokal maupun luar (dapat dilihat dari nama di tiap lukisan yang dipajang).
 |
Bangkok Art & Culture Center |
 |
Salah satu spot di Bangkok Art & Culture Center |
List terakhir hari ketiga, kami akan menghabiskan malam di Khaosan Road, jalan paling terkenal di Bangkok. Katanya Khaosan Road ini semakin malam semakin ramai. Karena belum paham rute menuju Khaosan Road, kami kembali menggunakan jasa Tuk Tuk karena kami pikir kapan lagi akan naik Tuk Tuk. Seperti biasa, kami harus bekerja ekstra untuk menawar tarif Tuk Tuk dengan gaya emak-emak Tanah Abang (kalau kemahalan, pura-pura jual mahal dan gak butuh HEHEHE...). Khaosan Road ini tidak jauh berbeda dengan Jalan Malioboro di Jogja. Banyak pedagang kaki lima yang menjual pakaian dan makanan di pinggir jalan. Selain itu kita juga dapat menemukan restoran dan bar di sini yang lebih banyak dikunjungi bule-bule. Selama dua hari di Bangkok, kami belum menemukan makanan tak lazim, baru saat berada di Khaosan Road akhirnya kami menemukan penjual serangga oseng. Hiiiiii membayangkannya saja sudah jijik, apalagi tarantula dan kalajengking. Karena makanan tak lazim ini sangat terkenal dan banyak pelancong yang memotret tetapi tidak membeli, pedagang memberikan tarif 10 THB (Rp 4050) apabila ingin mengambil foto. Temanku bernama Dina sempat memotret secara diam-diam dan inilah hasilnya HEHEHE...
 |
Serangga oseng |
 |
Khaosan Road |
 |
Muay Thai di Khaosan Road |
DAY 4 (08 MARET 2017) : ROBINSON DEPARTEMENT STORE - JAKARTA
Hari keempat atau hari terakhir kami gunakan untuk berjalan-jalan sekitar hostel saja karena sembari menunggu jadwal penerbangan menuju Jakarta pada pukul 15:30. Karena waktu check out hostel pukul 12:00, kami meminta staff hostel untuk melakukan check out lebih awal supaya tidak terburu-buru saat kembali. Staff hostel mengijinkan kami untuk menyimpan koper di cozy room sampai pukul 14:00. Di daerah Bang Rak ini terdapat mall yang tidak terlalu besar bernama Robinson Departement Store. Ternyata di sini kami menemukan Nestea Thai Milk Tea yang dijual lebih murah 10 THB dari harga di MBK Center. HAHAHA jauh-jauh mencari di tiga tempat berbeda karena khawatir tidak kebagian, ternyata di dekat hostel ada yang menjual lebih banyak dan murah. Oh My God Nestea kamu membuatku fyuh... Kami memanfaatkan sisa uang saku untuk membeli oleh-oleh snack dan kue.
 |
Kue yang dibeli di Robinson Bangrak |
Jam 14:00 tiba, saatnya kami siap-siap menuju bandara untuk terbang kembali ke Jakarta. Terimakasih Bangkok untuk pengalaman menyenangkan selama 4 hari, dan terkhusus untuk Nurul, Dita, dan Dina yang udah membuat impian ini menjadi nyata dan berjalan lancar. Insha Allah tahun depan akan ada cerita baru lagi.
Mau intermezzo dikit, bahasanya sante ae yaa biar keliatan lucunya, jadi selama 4 hari di Bangkok, banyak banget cerita lucu tapi bikin degdegan kejadian, mulai dari
GUE: Kehilangan kartu kamar. Jadi malam kedua, kami sempat ngobrol sama koko dari Hongkong yang namanya Woody sampai tengah malam di cozy room. Yang gue ingat, gue kebagian megang kartu kamar dan di meja banyak snack-snack berserakan. Gue sekamar btw sama Nurul. Aduh penyakit pikun gue kumat. Kartu kamar gue hilang, Ya Tuhan. Udah panik aja. Sampe-sampe gue nyamperin Woody ke kamarnya 2 lantai ke atas dari cozy room dan nuduh dia ketuker kartunya, padahal doi lg indehoy asoy sama temen ceweknya OMG gadeng becanda. Pas gue lihat, ternyata nomor kamarnya beda. Malu sih udah nuduh huh. Gue turun lagi ke cozy room, dan Nurul menemukan kartu ada di tong sampah (gak tau sih apa yang ada dipikiran Nurul sampe sampah aja dikorek-korek tapi berkatnya kartu ketemu uhuuyyy). Ehiya deng kan kita habis bala, jadi yaa buang sampah di tong dong. Tong sampah bayangin... Kartu penting dibuang di tong sampah anjay. Buang tuh masa lalu, biar ga baper melulu, eiiitss. Pikuner detected.
NURUL: Kehilangan Embarkation Card. Waktu udah ngantre di pengecekan imigrasi, kami sengaja ngantre beda barisan biar cepet. Tiba-tiba Nurul jongkok kayak nyari-nyari sesuatu, kebelet berak kaliya, kami semua nyamperin dong. Ternyata Embarkation Cardnya hilang. Udah panik karena takut gak bisa terbang. Nurul sempet minta lagi ke petugas yang jaga di situ, ternyata boleh Alhamdulillah ga jadi kehilangan Rp 1.000.000 - 2.000.000 deh kalau beli tiket pesawat lagi wekaweka cekaceka. Ternyata 3 hari kemudian Nurul cerita kalau kartunya masih di amplop. Yaa Amplop... Pikuner detected.
DINA: Kehilangan duit. Nah ini nih yang paling kocag. Jadi gue abis gantiin duit Dina 500 THB, waktu patungan buat bayar ini itu. Nah ceritanya sebelum berangkat kita foto-foto dulu di depan hostel sebelum jalan-jalan ke Robinson. Nah si Dina tuh nenteng-nenteng duitnya, bukan malah dimasukkin tas. Nah sampe di Robinson, si Dina ngorek-ngorek tasnya karena ngerasa si duit hilang ntah kemana. Kita balik lagi dong ke hostel, udah gak ada (ya iyalah, duit 500 THB / Rp 200.000 pada saat itu jatuh terus gak ada yang ngambil, itu sungguh mulia sifatnya). Kami selidiki kemana duit itu pergi, ternyata di foto masih ada, padahal jarak antara foto dan jalan keluar tuh cuma beberapa menit aja. Pikuner detected. Nih penampakannya:
 |
Penampakan uang sebelum dinyatakan hilang |
DITA: Kayaknya cuma Dita yang otaknya masih fresh. HOREE Pikuner Undetected
Thank you for sharing 💕
ReplyDeleteseruuu bgt, apalagi waktu kehilangan gt kocag2 dah 😂😂
ReplyDelete