Wednesday 29 November 2017

CARA KALIBRASI pH METER (EUTECH pHTestr 30 WATERPROOF)

November 29, 2017 by Tia Esha Nombiga

Apa arti kalibrasi?
Salah satu syarat hasil pengukuran parameter kuantitas kimiawi di laboratorium dapat diterima adalah keakuratan dari alat yang digunakan. Agar alat yang digunakan dapat memberikan hasil yang akurat, maka harus dilakukan kalibrasi terhadap alat tersebut. Kalibrasi dapat dilakukan secara eksternal dengan menggunakan jasa laboratorium yang telah terakreditasi ataupun internal yang dilakukan secara rutin.

“Kalibrasi adalah salah satu langkah yang dilakukan untuk memastikan bahwa alat yang digunakan untuk mengukur memiliki keakuratan pada rentang validasi yang diperlukan.”

Apa saja alat dan bahan yang diperlukan?
Alat yang diperlukan adalah:
pH meter yang akan dikalibrasi (Eutech pHTestr 30 Waterproof),
Wadah berukuran 160 mL, dan
Tissue

Bahan yang diperlukan adalah:
Larutan buffer solution pH 4,
Larutan buffer solution pH 7, dan
Aquades

Berapa rentang nilai pH larutan buffer (larutan penyangga)?
Larutan Buffer pH 4 = 4,00 – 4,02 ; 25­oC
Buffer Solution pH 4
Larutan Buffer pH 7 = 6,99 – 7,01 ; 20oC
Buffer Solution pH 7
Bagaimana cara kalibrasi?
  1. Siapkan pH meter yang akan dikalibrasi, larutan buffer pH 4 dan 7, aquades, dan tissue
  2. Tuang larutan buffer pH 4 dan 7 sebanyak 50 mL ke dalam wadah
  3. Tuang aquades masing-masing sebanyak 50 mL ke dalam dua wadah yang berbeda (untuk membilas bekas celupan pH 4 dan 7)
  4. Bilas elektroda pH meter dengan aquades lalu keringkan dengan tissue
  5. Celup elektroda pH meter ke dalam larutan buffer pH 4, lalu tekan tombol CAL. Tunggu sampai pembacaan pH stabil. Jika sudah stabil pada angka 4,00 - 4,02 (sesuai spesifikasi larutan buffer), tekan HOLD ENT
    Proses Kalibrasi pH Meter
  6. Bilas kembali elektroda pH meter dengan aquades bekas celupan pH 4 lalu keringkan dengan tissue
  7. Celup elektroda pH meter ke dalam larutan buffer pH 7. Tunggu sampai pembacaan pH stabil. Jika sudah stabil pada angka 6,99 - 7,01 (sesuai spesifikasi larutan buffer), tekan HOLD ENT
    Proses Kalibrasi pH Meter
  8. Bilas kembali elektroda pH meter dengan aquades bekas celupan pH 7, tunggu sampai 10 menit untuk menstabilkan pembacaan, lalu keringkan dengan tissue
  9. pH meter sudah terkalibrasi
Catatan:
Lakukan pengukuran terhadap larutan penyangga untuk memastikan alat terkalibrasi atau tidak yaitu dengan cara tekan tombol CAL sampai muncul tulisan MEAS pada display alat, celup elektroda pada buffer pH 4 atau 7 (pilih salah satu). Tunggu sampai pembacaan stabil. Jika hasil pembacaan masih berada pada rentang nilai pH pada suhu tertentu, maka alat sudah terkalibrasi.

Friday 24 November 2017

PENGALAMAN PERTAMA BACKPACKING KE BANGKOK (4 HARI 3 MALAM)

November 24, 2017 by Tia Esha Nombiga

Thanon Na Phra Lan Road, Bangkok
Siang itu tanggal 05 September 2016, aku mendapatkan panggilan masuk dari Nurul, teman seangkatanku semasa kuliah dulu. Alasan dia meneleponku siang itu untuk menawari ajakan backpacking ke luar negeri pada awal tahun depan. Aku yang mulai tertarik dengan dunia travelling langsung mengiyakan ajakan Nurul. Kami terlibat perbincangan yang cukup lama untuk memilih tujuan negara yang cocok. Dari tiga negara yang masuk dalam daftar rencana tujuan, yaitu Macau, Vietnam dan Thailand, maka dipilihlah Thailand dengan berbagai alasan. Di samping banyak penyedia tiket pesawat promo yang bersliweran, biaya hidup di Thailand masih terbilang murah dan informasi mengenai Thailand mulai dari pergi sampai pulang mudah ditemui di Internet. Selain aku dan Nurul, kami mengajak 2 orang teman kami lainnya, dan kalian tahu? Ini pengalaman pertama kami pergi keluar negeri tanpa travel agency dan keluarga. Setelah semua setuju, kami memilih tanggal keberangkatan yang sesuai dengan tanggal dengan tarif terendah dari salah satu maskapai Low-Cost Airline di Indonesia, maka dipilihlah tanggal 05 Maret 2017. Harga tiket Round Way yang kami peroleh sebesar Rp 1.318.000 tersebut terbilang sangat murah untuk tujuan Jakarta – Bangkok. Terimakasih Nurul yang sudah membantu kami mencarikan tiket semurah itu HEHEHE

DAY 1 (05 MARET 2017) : PASAR CHATUCHAK

Cuaca pagi yang cerah seperti memberi tanda sinyal bahwa penerbangan kami yang dijadwalkan pukul 14.00 WIB dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Don Mueang Bangkok akan berjalan dengan mulus tanpa guncangan. Betul sekali. Perjalanan kami selama 3 jam sangat minim turbulensi. Tidak ada perbedaan waktu antara Kota Jakarta dengan Bangkok sehingga kami tiba di Kedatangan Terminal 1 Bandara Don Mueang Bangkok tepat pukul 17.00 waktu setempat. Saat melewati pintu pemeriksaan imigrasi, kami hampir tidak menemui kesulitan sama sekali. Berbeda dengan Singapura yang kerap melakukan random checking pada turis asing yang hendak memasuki negara Singapura. Setelah berhasil melewati pintu imigrasi, kami mencari outlet penjual kartu SIM lokal agar dapat menikmati fasilitas internet tanpa roaming yang terletak di depan Exit Gate. Tujuan utama membeli kartu SIM lokal agar dapat membuka google maps karena kami sadar baru pertama kali menginjakkan kaki di Bangkok. Waktu itu kalau tidak salah harganya sebesar 296 THB (Rp 120.000) untuk data sebanyak 2 GB. Cukup mahal memang karena dijual di bandara. Keluar dari Exit Gate Kedatangan Terminal 1, kami disambut oleh jejeran bus berukuran seperempat bertuliskan A1 yang dikhususkan sebagai armada antar jemput bandara. Perjalanan kami selanjutnya yaitu menuju BTS N8 Mo Chit (BTS “Bangkok Train Station” adalah sebutan untuk perberhentian moda transportasi kereta di Bangkok yang terletak di atas jembatan layang atau sky train) dengan lama perjalanan kurang lebih 20 menit. BTS Mo Chit terletak tidak jauh dari pasar yang sangat terkenal di Bangkok bernama Pasar Chatuchak. Berhubung masih berada pada satu area, kami mampir sebentar ke Pasar Chatuchak walaupun dalam keadaan menenteng koper. Pasar Chatuchak ini masih ramai pengunjung walaupun hari sudah malam. Pengunjung didominasi kalangan muda, baik turis asing maupun warga lokal. Ada hal menarik yang kami temui saat menyusuri Pasar Chatuchak, yaitu pedagang wanita Thailand yang fasih berbahasa Indonesia. Saat kami tanya, beliau belum pernah berkunjung ke Indonesia, karena terlalu banyak turis asal Indonesia maka beliau mempelajari bahasa Indonesia secara autodidaktik. Cukup menarik. Kami memborong dagangannya yaitu manisan mangga/pack seharga 150 THB (Rp 61.000) dan Nestea Thai Milk Tea 15 sachet/pack seharga 120 THB (Rp 48.600) dengan bonus masing-masing 1 bungkus keripik pisang.
BTS Sky Train Map (photo by asiantraveltips)
BTS Sky Train Ticket Machine (photo by asiantraveltips)
FYI panduan menggunakan BTS Sky Train dengan mesin tiket mandiri yaitu:
1. Sentuh stasiun yang ingin dituju pada layar map, misalnya Saphan Taksin
2. Masukkan koin atau uang kertas sesuai dengan tarif yang tertera di tiap stasiun tujuan yang berada di dalam lingkaran (tidak selalu uang pas, mesin akan mengembalikan uang Anda)
3. Ambil tiket yang keluar, selesai
Single Journey Ticket BTS

Suasana di dalam BTS Siam - Saphan Taksin
Setelah dirasa cukup puas menyusuri Pasar Chatuchak dan badan mulai lelah, kami bergegas kembali menuju penginapan di daerah Bang Rak bernama Glur Bangkok Hostel and Coffee Bar. Untuk menuju Glur Bangkok Hostel, kami menaiki kereta dari BTS N8 Mo Chit, lalu transit terlebih dahulu di BTS Siam untuk sampai ke BTS terdekat yaitu BTS S6 Saphan Taksin. Lokasi Glur Bangkok Hostel ini sangat terjangkau karena terletak hanya beberapa meter dari Sathorn Pier dan BTS Saphan Taksin. Tarif per malam Glur Bangkok Hostel ini memang ditujukan untuk backpacker, yaitu hanya sebesar Rp 70.000 untuk kamar mix dorm dengan jumlah 8 bunk beds per room (harga merupakan penawaran saat promo, jika harga normal, kurang lebih Rp. 120.000). Harga terbilang murah karena sudah termasuk sarapan, makan sereal, dan minum susu kotak atau kopi sepuasnya yang dapat diambil di cozy room. Kalap dong kita, tiap malam ngobrol di cozy room sampai jam 01:00 cuma buat ngabisin sereal dan susu HEHEHE... Pelanggan Glur Bangkok Hostel ini didominasi turis asal Eropa/Amerika. Pegawainya pun cukup ramah dan fasih berbahasa Inggris. Selain itu, di depan hostel terdapat tempat makan yang bernama Bangrak Bazzar yang dapat dijadikan alternatif pengganti makanan di hostel yang cukup mahal bagi backpacker.
Glur Bangkok Hostel dari dalam

Glur Bangkok Hostel dari luar
Glur Bangkok Hostel and Coffee Bar
(45 Charoen Krung 50 Alley, Khwaeng Bang Rak,
Khet Bang Rak, Krung Thep Maha Nakhon 10500, Thailand)

DAY 2 (06 MARET 2017): GRAND PALACE - WAT PHO - ASIATIQUE THE RIVERFRONT

Itinerary hari kedua mengajak kami menuju The Grand Palace dan Wat Pho dengan menggunakan moda transportasi kapal yang berlayar dari Sathorn Pier dan berlabuh di Tha Chang Pier. Sungai Chao Phraya membelah Kota Bangkok sehingga kapal menjadi transportasi alternatif untuk mempersingkat perjalanan. Ada banyak jenis kapal yang mengangkut penumpang ke beberapa tempat di Bangkok. Kapal tersebut dibedakan menjadi dua yaitu Chao Phraya Tourist Boat dan Chao Phraya Express Boat. Chao Phraya Tourist Boat ini memang dikhususkan untuk turis yang ingin menyusuri sungai Chao Phraya sejauh 21 KM dengan model hop on-hop off seperti bus tour tanpa atap di Jakarta sedangkan Chao Phraya Express Boat dikhususkan untuk umum. Kami memilih Chao Phraya Express Boat karena harga lebih murah dan memang tujuan kami hanya satu tempat. Jenis kapal ini dibedakan lagi berdasarkan warna bendera. Untuk menuju The Grand Palace dan Wat Pho, kami menggunakan kapal berbendera oranye dengan tarif 17 THB (Rp 7000) yang akan ditagihkan di atas kapal. Pagi itu kapal sangat penuh sesak didominasi oleh turis asal Korea dan  Bule Eropa/Amerika.
Sathorn Pier
Sungai Chao Phraya dari Chao Phraya Express Boat
Setibanya di N9 Tha Chang Pier, kami berjalan tidak jauh menuju persimpangan jalan sekitar The Grand Palace. Dari persimpangan sudah terlihat megahnya jejeran kuil di The Grand Palace. The Grand Palace merupakan kediaman resmi keluarga kerajaan Thailand sekaligus kantor pemerintahan yang dibangun sejak tahun 1782 setelah Raja Rama I naik takhta. Namun sejak pemerintahan Raja Rama V, The Grand Palace tidak lagi dijadikan sebagai kediaman resmi keluarga kerajaan, namun hanya digunakan saat diadakan upacara keagaaman saja. The Grand Palace dibangun dengan gaya arsitektur neo-baroque seperti istana kerajaan di Eropa namun tetap tidak mengesampingkan khas negaranya. Tarif untuk memasuki The Grand Palace sebesar 500 THB (Rp 202.500). Tarif tersebut sudah termasuk memasuki area Wat Phra Kaew yang merupakan area paling suci karena terdapat patung Emerald Buddha setinggi 66 centimeter. Sinar matahari pada saat itu sangat terik karena Bangkok sedang memasuki musim panas sehingga membuat kami mudah mengalami lelah. Apalagi area The Grand Palace ini sangat luas dan butuh waktu seharian untuk menelusuri semua area sampai tuntas. Untuk memasuki The Grand Palace, kita dilarang keras menggunakan ripped jeans dan hot pants. Jika telanjur memakai celana tersebut, pengelola The Grand Palace akan menyewakan kain penutup seperti di Bali dengan membayar biaya tambahan.

Wat Phra Kaew "The Temple of the Emerald Buddha"
The Grand Palace dari depan
Phra Mondop
Chakri Maha Prasat Hall "The Royal Residence"
The Demon Guardians
Kami diajak groufie oleh Ahjumma :D
Rencana kami selanjutnya yaitu Wat Pho yang berjarak tidak jauh dari The Grand Palace sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Sebelum menuju The Grand Palace, aku membeli konsentrat mangga seharga 25 THB (Rp 10.000) dan potongan buah mangga seharga 30 THB (Rp 12.200) untuk menghilangkan dahaga. Wat Pho ini merupakan lokasi dimana The Reclining Buddha atau sebutan yang sering kita dengar Patung Buddha Tidur berada. Tarif tiket masuk Wat Pho sebesar 100 THB (Rp 40.500) sudah termasuk sebotol air minum yang dapat ditukarkan di pintu masuk. Wat Pho ini memang tidak seluas The Grand Palace namun keindahan kuil Buddhist ini tidak diragukan juga. Di Wat Pho ini memang lebih banyak disuguhi patung Buddha berlapis emas daripada bangunan megahnya. The Reclining Buddha atau Phra Buddha Saiyas atau Patung Buddha Tidur memiliki panjang 46 meter dan tinggi 15 meter dengan berlapis emas 18 karat. Patung Buddha Tidur ini menjadi salah satu destinasi wisata paling terkenal di dunia. Sebelum memasuki area tempat Patung Buddha Tidur berada, kami diwajibkan untuk melepas alas kaki. Sangat sulit mengabadikan foto di depan patung karena banyaknya turis yang berlalu lalang dan berhenti untuk berswafoto juga. Selain Patung Buddha Tidur, ada banyak patung Buddha emas lainnya dengan gaya yang berbeda. Ada yang bermeditasi ataupun duduk di atas batu.
Tiket masuk Wat Pho
Phra Buddha Saiyas "The Reclining Buddha"
The Colonnades
Phra Buddha Chinnasari
Phra Maha Chedi Sri Rajakarn "The Great Pagodas of Four King"
Jajanan kaki lima sekitar Wat Pho
Kami kembali ke Tha Chang Pier dengan menggunakan jasa transportasi Tuk Tuk. Tuk Tuk merupakan moda transportasi darat khas Thailand seperti oplet yang paling mendunia. Mumpung sedang berada di Thailand, kami mencoba transportasi tersebut, di samping itu badan sudah mulai terasa lelah jika harus berjalan kaki. Untuk dapat menaiki Tuk Tuk, kita perlu pintar-pintar menawar karena jika tidak, supir akan memberikan harga tinggi. Saat itu kami dikenai tarif sebesar 75 THB (Rp 30.000) setelah bersusah payah menawar.

Selanjutnya tujuan kami adalah Asiatique The Riverfront yang memang hanya dibuka pada malam hari. Untuk menuju Asiatique The Riverfront, kita bisa menggunakan jasa angkutan shuttle boat gratis yang hanya beroperasi dari pukul 16:00 – 00:30 dari Sathorn Pier. Saat itu kami berangkat pukul 19:00. Antrian pun tidak terlalu mengular karena mungkin pengunjung sudah berangkat sedari pukul 16:00. Selama menyusuri sungai Chao Phraya pada malam hari, kami disuguhi pemandangan lampu-lampu dari Asiatique dan Mekong Ferris Wheel. Di Asiatique ini terdapat restoran, pertunjukan musik, dan pusat oleh-oleh yang didesain sangat megah seperti Gading Walk di Jakarta. Walaupun terlihat megah dan mahal, ternyata barang yang dijajakan terbilang cukup murah. Aku membeli oleh-oleh pakaian untuk keponakan yang berumur 4,5 dan 1,5 tahun dengan harga rata-rata 74 THB (Rp 30.000) pada pedagang yang berasal dari Sri Lanka. Aku mengobrol banyak dengan pedagang ini karena sangat ramah, sampai menanyakan dimana asalku dan sudah pernah pergi ke Bali HEHEHE Indonesia selalu saja dikenal dengan Bali. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 23:00, yang mana sebentar lagi jam operasional shuttle boat gratis akan berakhir. Kami bergegas mengantre kapal untuk kembali menuju penginapan.
Gemerlap malam dari atas shuttle boat

Suasana di shuttle boat
Asiatique the Riverfront

DAY 3 (07 MARET 2017): MBK CENTER - SIAM PARAGON - BANGKOK ART & CULTURE CENTER - KHAOSAN ROAD

Hari ketiga selama di Bangkok memang kami khususkan untuk mencari oleh-oleh. Kami memilih kawasan Siam setelah mencari beberapa informasi dari blog traveller yang mengatakan bahwa ada sebuah mall yang dihuni ribuan tenant yang menjual berbagai aksesoris, pakaian, makanan dan minuman khas Bangkok dengan harga yang lebih murah. Nama mall tersebut adalah MBK Center (Ma Boon Khrong Center). Jika dilihat dari luar, mall tampak megah, tidak kalah megah dengan pesaingnya yaitu Siam Paragon namun ketika sudah berada di dalam, suasana mall tak jauh berbeda dengan ITC seperti di Jakarta. Di MBK Center, kami menemukan minuman Nestea Thai Milk Tea yang berharga lebih murah dari harga Nestea yang kami beli di Pasar Chatuchak dan Asiatique. Tanpa pikir panjang, aku memborong minuman Nestea yang memang cukup terkenal di Bangkok sebanyak mungkin (kalau beli melalui e-commerce akan lebih mahal). Fyi harga Nestea 15 sachet/pack di Pasar Chatuchak sebesar 120 THB (Rp 48.600) sedangkan di MBK Center hanya sebesar 95 THB (Rp 38.500). Transportasi menuju MBK Center ini sangat mudah karena terletak tidak jauh dari BTS W1 National Stadium. Hanya berjalan kaki beberapa meter melalui sky walk, kalian akan tiba di antara dua mall yaitu Siam Paragon dan MBK Center.
MBK Center dari sky walk
Setelah hampir setengah hari menyusuri MBK Center, perut kami mulai terasa lapar. Kami menemukan food court yang cukup nyaman dengan pilihan makanan dan minuman yang bervariasi di area luar MBK Center. Kami membeli Pad Thai seharga 37 THB (Rp 15.000), Mango Sticky Rice seharga 100 THB (Rp 40.500), Coconut Ice Cream seharga 25 THB (Rp 10.000), dan konsentrat mangga seharga 25 THB (Rp. 10.000). Selanjutnya perjalanan kami adalah menuju Siam Paragon hanya sekedar melihat-lihat suasana karena harga barang yang dijual tidak sesuai dengan kantung backpacker. Mall bernama Siam Paragon ini memang ditargetkan untuk kalangan menengah ke atas dengan menjual barang-barang brand terkenal. Dari Siam Paragon ini kita akan terhubung ke Siam Discovery dimana Madame Tussauds Bangkok berada. Kami memang tidak masuk ke dalam Madame Tussauds, cukup selfie gratis dengan patung lilin Om George Clooney di depan HEHEHE. . .
Coconut Ice Cream, Mango Sticky Rice, dan Pad Thai
Madame Tussauds Bangkok dari luar
Berpose dengan Om George Clooney
Sebenarnya Bangkok Art & Culture Center tidak masuk ke dalam itinerary, karena kami menemukan tempat ini secara tidak sengaja. Berhubung sepertinya ini adalah tempat yang sangat menarik, maka kami menyempatkan untuk masuk sebelum melanjutkan perjalanan. Bangkok Art & Culture Center ini menampilkan lukisan-lukisan hasil karya seniman, baik lokal maupun luar (dapat dilihat dari nama di tiap lukisan yang dipajang).
Bangkok Art & Culture Center

Salah satu spot di Bangkok Art & Culture Center
List terakhir hari ketiga, kami akan menghabiskan malam di Khaosan Road, jalan paling terkenal di Bangkok. Katanya Khaosan Road ini semakin malam semakin ramai. Karena belum paham rute menuju Khaosan Road, kami kembali menggunakan jasa Tuk Tuk karena kami pikir kapan lagi akan naik Tuk Tuk. Seperti biasa, kami harus bekerja ekstra untuk menawar tarif Tuk Tuk dengan gaya emak-emak Tanah Abang (kalau kemahalan, pura-pura jual mahal dan gak butuh HEHEHE...). Khaosan Road ini tidak jauh berbeda dengan Jalan Malioboro di Jogja. Banyak pedagang kaki lima yang menjual pakaian dan makanan di pinggir jalan. Selain itu kita juga dapat menemukan restoran dan bar di sini yang lebih banyak dikunjungi bule-bule. Selama dua hari di Bangkok, kami belum menemukan makanan tak lazim, baru saat berada di Khaosan Road akhirnya kami menemukan penjual serangga oseng. Hiiiiii membayangkannya saja sudah jijik, apalagi tarantula dan kalajengking. Karena makanan tak lazim ini sangat terkenal dan banyak pelancong yang memotret tetapi tidak membeli, pedagang memberikan tarif 10 THB (Rp 4050) apabila ingin mengambil foto. Temanku bernama Dina sempat memotret secara diam-diam dan inilah hasilnya HEHEHE...
Serangga oseng

Khaosan Road
Muay Thai di Khaosan Road

DAY 4 (08 MARET 2017) : ROBINSON DEPARTEMENT STORE - JAKARTA

Hari keempat atau hari terakhir kami gunakan untuk berjalan-jalan sekitar hostel saja karena sembari menunggu jadwal penerbangan menuju Jakarta pada pukul 15:30. Karena waktu check out hostel pukul 12:00, kami meminta staff hostel untuk melakukan check out lebih awal supaya tidak terburu-buru saat kembali. Staff hostel mengijinkan kami untuk menyimpan koper di cozy room sampai pukul 14:00. Di daerah Bang Rak ini terdapat mall yang tidak terlalu besar bernama Robinson Departement Store. Ternyata di sini kami menemukan Nestea Thai Milk Tea yang dijual lebih murah 10 THB dari harga di MBK Center. HAHAHA jauh-jauh mencari di tiga tempat berbeda karena khawatir tidak kebagian, ternyata di dekat hostel ada yang menjual lebih banyak dan murah. Oh My God Nestea kamu membuatku fyuh... Kami memanfaatkan sisa uang saku untuk membeli oleh-oleh snack dan kue.
Kue yang dibeli di Robinson Bangrak
Jam 14:00 tiba, saatnya kami siap-siap menuju bandara untuk terbang kembali ke Jakarta. Terimakasih Bangkok untuk pengalaman menyenangkan selama 4 hari, dan terkhusus untuk Nurul, Dita, dan Dina yang udah membuat impian ini menjadi nyata dan berjalan lancar. Insha Allah tahun depan akan ada cerita baru lagi.

Mau intermezzo dikit, bahasanya sante ae yaa biar keliatan lucunya, jadi selama 4 hari di Bangkok, banyak banget cerita lucu tapi bikin degdegan kejadian, mulai dari
GUE: Kehilangan kartu kamar. Jadi malam kedua, kami sempat ngobrol sama koko dari Hongkong yang namanya Woody sampai tengah malam di cozy room. Yang gue ingat, gue kebagian megang kartu kamar dan di meja banyak snack-snack berserakan. Gue sekamar btw sama Nurul. Aduh penyakit pikun gue kumat. Kartu kamar gue hilang, Ya Tuhan. Udah panik aja. Sampe-sampe gue nyamperin Woody ke kamarnya 2 lantai ke atas dari cozy room dan nuduh dia ketuker kartunya, padahal doi lg indehoy asoy sama temen ceweknya OMG gadeng becanda. Pas gue lihat, ternyata nomor kamarnya beda. Malu sih udah nuduh huh. Gue turun lagi ke cozy room, dan Nurul menemukan kartu ada di tong sampah (gak tau sih apa yang ada dipikiran Nurul sampe sampah aja dikorek-korek tapi berkatnya kartu ketemu uhuuyyy). Ehiya deng kan kita habis bala, jadi yaa buang sampah di tong dong. Tong sampah bayangin... Kartu penting dibuang di tong sampah anjay. Buang tuh masa lalu, biar ga baper melulu, eiiitss. Pikuner detected.
NURUL: Kehilangan Embarkation Card. Waktu udah ngantre di pengecekan imigrasi, kami sengaja ngantre beda barisan biar cepet. Tiba-tiba Nurul jongkok kayak nyari-nyari sesuatu,  kebelet berak kaliya, kami semua nyamperin dong. Ternyata Embarkation Cardnya hilang. Udah panik karena takut gak bisa terbang. Nurul sempet minta lagi ke petugas yang jaga di situ, ternyata boleh Alhamdulillah ga jadi kehilangan Rp 1.000.000 - 2.000.000 deh kalau beli tiket pesawat lagi wekaweka cekaceka. Ternyata 3 hari kemudian Nurul cerita kalau kartunya masih di amplop. Yaa Amplop... Pikuner detected.
DINA: Kehilangan duit. Nah ini nih yang paling kocag. Jadi gue abis gantiin duit Dina 500 THB, waktu patungan buat bayar ini itu. Nah ceritanya sebelum berangkat kita foto-foto dulu di depan hostel sebelum jalan-jalan ke Robinson. Nah si Dina tuh nenteng-nenteng duitnya, bukan malah dimasukkin tas. Nah sampe di Robinson, si Dina ngorek-ngorek tasnya karena ngerasa si duit hilang ntah kemana. Kita balik lagi dong ke hostel, udah gak ada (ya iyalah, duit 500 THB / Rp 200.000 pada saat itu jatuh terus gak ada yang ngambil, itu sungguh mulia sifatnya). Kami selidiki kemana duit itu pergi, ternyata di foto masih ada, padahal jarak antara foto dan jalan keluar tuh cuma beberapa menit aja. Pikuner detected. Nih penampakannya:
Penampakan uang sebelum dinyatakan hilang
DITA: Kayaknya cuma Dita yang otaknya masih fresh. HOREE Pikuner Undetected

Wednesday 15 November 2017

SAD-FATE FACTS OF GRAND DUCHESS OLGA NIKOLAEVNA OF RUSSIA

November 15, 2017 by Tia Esha Nombiga
Grand Duchess Olga Nikolaevna of Russia through the years (1895 - 1916)
Today in 122 years ago, Grand Duchess Olga Nikolaevna of Russia was born in Alexander Palace, Tsarskoe Selo, St. Petersburg, Russian Empire (now is Russian Federation Republic). She was born as Romanov clan. I will write short sad-fate facts of her.

1. She was the eldest daughter of the last Tsar of All Russias, Tsar Nicholas II and his wife, Empress Alexandra Feodorovna (née Princess Alix of Hesse & by Rhine). She was also great-granddaughter of Queen Victoria of the United Kingdom through female line.

Olga and her parents
2. Her childhood surrounded by happiness. She had lovely parents, three gorgeous younger sisters, a beautiful little brother, religious family, and luxury nobility lifestyle.

Olga and her family
3. Olga was considered to be the most intelligent out of 5-her siblings. She had passion about schoolwork the most. In my opinion, she might be a great ruler if Tsar Paul I didn't forbid woman to be heir to Russian throne.

Olga and her siblings (Olga was the tallest)
4. If she succeeded his father, I am sure she would be Olga the Great. She grew up from little girl to be critical woman. She knew about financial and political circumstances of her country during World War I.

Olga wrote a Letter
5. She was matched with other European royal prince to be possible future husband but she decided to marry a Russian and live rest of her life in own country. Her parents also didn't force her to choose a man she would marry.

Olga and her British Relatives
6. The suitors were Prince David of Wales (future King Edward VIII of the United Kingdom), Prince Alexander of Serbia (future King Alexander I of Yugoslavia), Grand Duke Dimitri Pavlovich of Russia (his father's first cousin), & Prince Carol of Romania (future King Carol II of Romania). But Olga rejected all the suitors, as I said, she didn't want to leave her country, Russia and change her nationality.

Olga and her possible future husband (Edited by @lovelyotma)
7. In late 1913, she fell in love with 27-year-old Pavel Voronov, a junior officer in Imperial Yacht Shtandart. But she must to accept that Pavel became engaged to another Olga, a lady in waiting.

Olga and Pavel Voronov
8. In 1915, when she was serving as a nurse during World War I in Catherine Palace, Tsarskoe Selo (Catherine Palace was set up for hospital), she met Dimitri "Mitya" Shakh-Bagov, a wounded soldier she fell in love with.

Olga was surrounded by officer and wounded soldier (Mitya was on the bed)
9. Her life changed after his father abdication following Russia Revolution in February, 1917. Then, she imprisoned in 3 different places only a year together with her family.

Olga, her family, and 4 loyal servants in Murder Scene
10. She and family were under house arrest in Alexander Palace after February Revolution. Then, the family was moved miles away to Tobolsk in Siberia after Bolsheviks Revolution in October, 1917.

Olga and her sisters during house arrest in Alexander Palace, 1917
11. She lost her weight during captivity due to depression. In April 1918, the family was moved again to Yekaterinburg by Soviet Government. But her younger brother, the Tsarevitch (read: Aleksey Nikolaevich) wasn't able to travel to Yekaterinburg because he was suffering hemophillia attack.
Olga was chopping a wood during captivity in Tobolsk
12. Her parents were very anxious about her state of mental health. Her spirit was too low. That's why her parents chose Maria (her younger sister) to accompany them to Yekaterinburg because they believed she could give them power.

Her father and second younger sister, Maria Nikolaevna
13. She and two younger sisters, Tatiana and Anastasia take care of Aleksey in Tobolsk until he was strong enough to travel to Yekaterinburg. Her parents didn't take Anastasia to accompany them to Yekaterinburg because she was too young and they trusted Tatiana to take care of her siblings because she was level-headed.

Olga, Tatiana, and Anastasia was taking care of their
younger brother, Aleksey in Tobolsk. This was known to

be last photograph of the siblings together
14. Unfortunately, her life wasn't long. In last exile, she was planned in order to assassinated along with other 53 Romanovs by Bolsheviks in 1918. But 35 Romanovs could escape from assassination, excluding her and immediate family. She was only 22 years old at the day she died.

Romanovs who were assassinated by Bolsheviks (Edited by @lovelyotma)
15. (This part may be disturbing for some people)
In early morning of July 17, 1918, she and her family were ordered to walk down to basement in Ipative House, Yekaterinburg. In that place, she witnessed her parents were murdered brutally before her eyes.

Illustration of Nicholas and his family murder in Basement Ipatiev House

16. In her turn, she was stabbed multiple times on chest and shot on jaws in front of her siblings. One of Killer recalled, before she died, she made sign of cross with her mother. Her corpse thrown to abandoned pit mine in Ural.

Illustration of the death bodies of Nicholas and his family in pit mine

17. Her body remains just discovered in 1978, exhumed in 1991 to further identified, and buried properly alongside her family in 1998 in St. Peter & Paul Church, St. Petersburg, Russian Federation Republic.


Skull of Nicholas, Alexandra, Olga, Tatiana, and Anastasia
18. The family was identified by DNA sample of Grand Duke George Alexandrovich who died suddenly on road caused by tuberculosis in 1899. His blood remains on his clothes which was displayed in museum was used to identify skeletal belong to his older brother, Tsar Nicholas II.
Grand Duke George Alexandrovich, first younger brother of Tsar Nicholas II