Tuesday 24 October 2017

CERBUNG: TAK TERDUGA (PART 1)

October 24, 2017 by Tia Esha Nombiga

Hari itu jarum jam terasa berdetak lebih lambat dari biasanya, padahal secara logika, jumlah detik dalam setiap menit akan tetap konstan seiring dengan pergerakan bumi terhadap matahari. Ternyata salah, aku baru mengerti ini yang disebut dengan teori relativitas yang terkenal dari Albert Einstein, dimana waktu akan terasa sangat lama ketika duduk di atas tungku yang panas daripada duduk bersebelahan dengan wanita cantik. Saat itu aku sedang berhadapan dengan berjuta pertanyaan yang dilontarkan dari dua dosen penguji dan dua dosen pembimbing untuk memenuhi persyaratan kelulusan studi masterku di salah satu universitas negeri terkemuka di Bandung. Sebenarnya tidak sulit bagiku menjawab semua pertanyaan tersebut karena sedari awal aku memilih prodi yang menjadi keahlianku “Teknik Informatika”. Aku memang bercita-cita ingin menjadi seorang programmer yang handal. Bukan jumawa melainkan optimis bahwa aku dipastikan lulus dengan gelar Magister Ilmu Komputer (M.Kom). Benar saja, aku lulus dengan predikat sangat memuaskan. 


***

Seorang pria muda berkulit kuning langsat khas Jawa yang belum genap berumur 24 tahun dengan tinggi 175 cm dan brewok tipis yang menghiasi wajahnya serta hidung sedikit mancung dan tatapan mata yang tegas merasa yakin bahwa dia diterima bekerja kelak bukan karena penampilannya melainkan karena kecakapannya dalam bekerja. Tidak butuh waktu lama untuk mencari dan menemukan pekerjaan yang cocok. Aku diterima sebagai Manager IT di perusahaan multinasional asing asal Amerika Serikat yang bergerak di bidang otomotif. Bekerja di perusahaan asing yang berlokasi di Jakarta membuat aku memiliki banyak kolega asing. Seringkali kami melakukan pertemuan di luar jam kerja membahas kepribadian masing-masing. Salah satu kolega asingku ternyata tertarik dengan kepribadianku yang bahkan aku tidak mampu mendeskripsikan seperti apa pribadiku ini. Dia adalah Mr. John Cornwell yang memiliki posisi cukup penting di perusahaan tempat aku bekerja. Suatu ketika Mr. Cornwell mengajakku bertemu untuk membicarakan mengenai kesediaanku untuk mengisi kekosongan Divisi IT di kantor cabang yang bermarkas di Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Pertemuan tersebut membawa berkah sekaligus dilema tersendiri bagiku. Berkah karena aku memiliki kesempatan untuk mengembangkan karirku namun dilema karena harus meninggalkan orang tuaku untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Walau pada akhirnya orang tuaku sangat mendukung keputusanku untuk menetap di negara berjuluk Paman Sam tersebut.

***

Tak terasa sudah hampir satu tahun aku menetap di Chicago. Karirku terus melonjak sejak kesigapanku dalam mengantisipasi adanya penambahan detik kabisat pada tanggal 30 Juni 2012 lalu yang “hampir” menghancurkan sistem komputerisasi finansial yang membuat para petinggi perusahaan ketar-ketir. Aku didapuk sebagai penyelamat perusahaan sehingga dipromosikan untuk naik jabatan padahal saat itu umurku masih terbilang muda, yaitu 26 tahun. Aku dipercaya mengendalikan seluruh sistem IT kantor yang bercabang di Chicago tersebut. Posisiku yang cukup mentereng lantas tak membuat aku tinggi hati. Aku tetap seperti aku yang dulu saat masih bermukim di Bandung. Aku lebih nyaman makan atau sekedar nyeruput kopi di tempat biasa daripada mewah. Saat itu aku sedang cuti bekerja dan berniat menyicipi kuliner kafe pinggir jalan. Pengunjung yang cukup membludak membuat aku mengurungkan niat untuk makan di tempat. Namun tiba-tiba ada seorang wanita bule bertubuh tinggi sedikit berisi dengan rambut blonde sebahu yang melambaikan tangannya kepadaku di ujung sana. Aku menghampirinya untuk memastikan dia benar-benar memanggilku. Ternyata dia menawariku kursi kosong yang cukup luas di sebelahnya. Dia ditemani seorang teman wanitanya yang bertubuh mungil, berpipi merah merona, berbibir tipis dan berambut brunette. Cukup terkejut karena masih ada orang bule yang ramah terhadap orang asing non pribumi namun aku beranggapan bahwa mereka ingin menolongku karena melihat gelagatku seperti orang yang bingung mencari dimana meja yang kosong. Jadilah kami duduk bertiga seperti orang yang sudah lama kenal. Mereka bernama Emma (red: yang melambaikan tangan) dan Stefanie yang berprofesi sebagai editor dan model majalah inspirasi anak muda yang merantau ke Chicago untuk mencari peruntungan. Mereka berdua adalah Warga Negara Asli Amerika. Kami saling berkenalan dan bertukar kontak. Aku cukup tertarik dengan Emma dan terlebih Stefanie yang sangat cerdas akan pemikirannya yang brilian. Walaupun mereka terpaut lima tahun lebih muda dari umurku, namun pemikirannya melebihi orang dewasa muda pada umumnya. Mereka mampu melihat situasi yang terjadi di dunia saat ini dan memberikan komentar serta solusi yang menurutku cukup berguna jika disampaikan di sebuah pertemuan delegasi dunia. Semua pemikiran mereka dicurahkan di dalam majalah yang mereka garap. Kami bertiga cukup sering bertemu dan membahas segala hal sampai pada titik dimana kami membahas tentang kisah percintaan. Aku merasa Emma mendekatiku bukan sebagai seorang yang ingin bertukar pikiran melainkan bertukar hati. Aku berharap Stefanie yang melakukan namun sepertinya itu hanya anganku saja. Sikap Stefanie kepadaku seperti halnya teman kepada teman pada umumnya, padahal aku berharap lebih. Berbeda dengan Emma yang sering memperhatikan dan mengajakku untuk menikmati kopi berdua. Sangat kentara sekali jika Emma menyukaiku sampai suatu ketika Emma menyatakan cintanya kepadaku namun aku menolaknya dengan alasan yang tidak menyakiti hatinya. Aku beralasan bahwa aku sudah memiliki kekasih di Indonesia sana. Emma memakluminya namun sejak saat itu sikap Emma kepadaku berubah 180 derajat, padahal aku berharap tetap berkawan baik. Stefanie sangat marah sekali kepadaku karena mengira aku mempermainkan perasaan sahabatnya. Aku menjelaskan kepada Stefanie bahwa aku melakukan ini karena aku menyukainya, bahkan mencintainya. Stefanie tidak mampu berkata apa-apa karena diam-diam dia juga merasakaan perasaan yang sama namun menutupinya untuk menghargai perasaan sahabatnya. Sejak saat itulah aku kehilangan kontak komunikasi dengan mereka berdua selama hampir setengah tahun.

***

Menjamu teman atau orang terdekat seperti sudah menjadi tradisi dalam keluarga jika sedang berulang tahun. Aku menjamu teman-teman kantor terdekatku secara non formal di kafe tempat aku, Stefanie, dan Emma sering menghabiskan waktu bersama. Ketika tagihan makan sudah aku lunasi, aku meminta ijin kepada teman-temanku untuk tetap tinggal seorang diri dengan alasan ingin bertemu dengan teman. Aku ingin mengingat kembali kebersamaanku dengan Stefanie dan Emma karena rindu yang tidak dapat dibendung. Aku berharap dapat bertemu mereka secara tidak sengaja saat ini juga. Saat terbuai dalam lamunan singkatku, tak terduga, harapanku menjadi nyata ketika aku melihat Stefanie dari kejauhan yang juga sedang menikmati makanan seorang diri. Aku mendekati dan mengajaknya berbicara. Stefanie mengaku jika hubungan persahabatannya dengan Emma kandas karena tidak sengaja menemukan diari miliknya yang berisikan curahan hati kepada satu pria yang mereka berdua sama-sama sukai. Stefanie tidak menyebutkan secara gamblang siapa pria itu namun batinku berbicara bahwa pria itu adalah aku. Lantas tanpa pikir panjang, aku melamar Stefanie untuk menjadi isteriku namun ditolak karena menurutnya kehidupan setelah pernikahan hanyalah omong kosong. Aku mengerti bahwa orang bule tidak terlalu menghiraukan tentang status pernikahan yang sah. Bagi mereka, memiliki sebuah keluarga kecil tidak perlu dilalui dengan janji pernikahan yang sakral. Aku menjelaskan dari sisi agama dan hukum, bahwa agamaku mengatur pernikahan agar status orang tua dan penumpu hidup untuk anak kelak jelas dan terjamin. Namun penjelasanku itu tidak mampu meluluhkan hati Stefanie. Dia tetap menolak lamaran dengan alasan perbedaan keyakinan dan masih mampu menanggung biaya anaknya sendiri kelak. Tak putus asa, aku meyakinkan Stefanie atas dasar cinta karena aku yakin kami saling mencintai. Stefanie terdiam dan tertunduk seakan tidak ingin menerima namun tidak ingin menolak juga. Aku memberi Stefanie waktu untuk menjawab lamaranku ini. Aku berjanji tidak akan mengganggunya lagi jika dia menolak lamaranku.

*BERSAMBUNG*
Ilustrasi Pemain
(Dari kiri atas searah jarum jam: Aku, Stefanie, Cameron, dan Emma)

Monday 23 October 2017

KITA "KISAH NYATA": PEMBANTAIAN KELUARGA KEKAISARAN RUSIA YANG MELEGENDA

October 23, 2017 by Tia Esha Nombiga

Potret Resmi Tsar Nicholas II dan Keluarga (Livadia Palace, Kekaisaran Rusia 1913-sekarang Ukraina)
Saya menulis blog ini karena sangat terinspirasi dengan kehidupan pasangan kaisar terakhir Rusia yang mengajarkan anak-anaknya, Putri OTMA (sebutan untuk Olga, Tatiana, Maria, dan Anastasia) dan Putra Mahkota Aleksey untuk selalu berbuat baik kepada orang lain. Dahulu kehidupan pasangan tersebut sangat bahagia karena memiliki harta yang berlimpah dan anak-anak yang cerdas, berkepribadian ramah, dan mudah bergaul dengan siapapun walaupun dengan orang yang memiliki kasta di bawah mereka. Namun kebahagiaan mereka terenggut sejak para pencetus revolusi berpaham komunis menginginkan kelengseran kaisar dari kursi pemerintahan Rusia pada tahun 1917.  Kaisar terakhir Rusia beserta keluarga diasingkan dan ditahan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Mereka harus menjalani kehidupan yang sengsara selama penahanan. Putri OTMA dan Putra Mahkota Aleksey harus bekerja bercocok tanam dan beternak selama penahanan. Seorang Putri yang bernama Olga kehilangan berat badan yang drastis dan Putra Mahkota Aleksey terkena serangan hemofilia yang hebat karena depresi akibat menjalani hidup yang tidak biasa mereka lakukan. Mereka dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya yang berjarak ribuan kilometer selama kurun waktu satu tahun hingga berlabuh di tempat terakhir mereka melihat dunia pada tanggal 17 Juli 1918 di sebuah rumah milik seorang pria bernama Ipatiev yang terletak di Yekaterinburg, Siberia. Kematian tragis keluarga kaisar terakhir Rusia yang tak terlepas dari hubungannya dengan para revolusioner berpaham komunis banyak diangkat dalam sebuah karya film dan cerita. Saya sendiri akan mengupas sedikit detil kekejaman komunis yang menimpa kaisar terakhir Rusia, Tsar Nicholas II, bersama dengan keluarganya yang dibunuh oleh pasukan komunis dari Partai Bolsheviks.

"Nicholas Alexandrovich Romanov, Pria Terkaya yang dibunuh oleh Rezim Komunis"

Dia bernama Nicholas Alexandrovich Romanov, merupakan putera tertua dari pasangan Tsar Alexander III dan Empress Maria Feodorovna. Dia menjadi penerus tahta Kekaisaran Rusia setelah kematian ayahnya pada tahun 1894 di usia 26 tahun, beberapa hari sebelum pernikahannya dengan Putri Alix dari Jerman ("Empress Alexandra Feodorovna of Russia by marriage" yang merupakan cucu Ratu Victoria dari Inggris). Dia diangkat menjadi Tsar pada upacara penobatan tahun 1896 dengan gelar Tsar Nicholas II. Nicky "sapaan akrab Nicholas" mungkin menjadi manusia terkaya di dunia apabila Ia tidak kehilangan keturunannya dengan kekayaan bersih Rp 4200 trilliun, sementara Bill Gates hanya Rp 1206 trilliun (anjir segini hanya "out of topic"). Dia terbiasa memanjakan anak-anaknya dengan kehidupan yang mewah, bahkan lebih mewah dari kehidupan modern saat ini padahal perekonomian Rusia sedang tidak stabil. Nicky dikenal sebagai pemimpin yang tidak cakap karena diyakini Ia belum siap menjadi seorang Tsar setelah kematian ayahnya. Banyak pihak yang tidak setuju dengan kebijakan yang dibuat olehnya (sebelum tahun 1906, bentuk pemerintahan Rusia merupakan Monarki Mutlak). Akibat ketidakcakapan tersebut, terjadi revolusi berdarah pertama pada tahun 1905 yang menginginkan dibentuknya Duma (Badan Legislatif Rusia) yang dijuluki Bloody Sunday karena banyak korban yang tumpah dari kalangan sipil. Lalu revolusi tak terbendung kedua yang terjadi pada tahun 1917 yang dimotori oleh Bolsheviks dan Menshviks (btw walaupun sama-sama menginginkan adanya revolusi namun keduanya memiliki perbedaan pendapat) dan disebut sebagai peristiwa penyebab kejatuhan Kekaisaran Rusia. Nicky sempat meminta suaka kepada sepupunya, Raja George V dari Inggris namun ditolak karena khawatir akan mengganggu stabilitas negaranya. Dia dipaksa untuk turun tahta, diasingkan, ditahan, lalu dieksekusi mati bersama isteri, 5 anak, dan 4 pembantu setianya di ruang bawah tanah Ipatiev House di daerah Yekaterinburg, Siberia berjarak ribuan kilometer dari rumahnya di St. Petersburg oleh komunis Bolsheviks pada tanggal 17 Juli 1918.
Tsar Nicholas II dan Anaknya selama Perang Dunia I (Mogilev, Kekaisaran Rusia 1916-sekarang Belarus)
Dari kiri ke kanan: Olga, Aleksey, Anastasia, dan Tatiana selama
menjalani penahanan rumah (Alexander Palace, St. Petersburg Rusia 1917)
Kronologi pembunuhan Nicky dan keluarga:
Pada pengasingan terakhir di Ipatiev House, mereka dibangunkan secara tiba-tiba dari tidurnya pada dini hari pukul 02.00 tanggal 17 Juli 1918, dan diperintahkan untuk turun ke ruang bawah tanah untuk keselamatan Nicky dan keluarga karena terjadi bentrokan antara White Army (pendukung pemerintah saat itu "Aleksandr Kerensky") dan Red Army (penentang pemerintah "Bolsheviks") di luar. Mereka adalah Tsar Nicholas II (50 tahun), Empress Alexandra Feodorovna (46 tahun), Grand Duchesses Olga (22 tahun), Tatiana (21 tahun), Maria (19 tahun), Anastasia Nikolaevna (17 tahun), Tsarevich Aleksey Nikolaevich (13 tahun), dan 4 pembantu setianya (Dr. Eugene Botkin, Anya Demidova, Aleksey Trupp, dan Ivan Kharitonov). Setelah sampai di ruang bawah tanah, Nicky meminta 2 kursi untuk putera bungsunya, Aleksey yang sedang menderita hemofilia dan isterinya yang memiliki riwayat kesehatan kurang baik. Setelah kurang lebih setengah jam mereka menunggu, Yakov Yurovsky (pimpinan eksekusi) dan kurang lebih 11 orang bersenjata turun lalu Yurovsky membacakan sebuah surat bertuliskan,

"Dikarenakan kerabatmu tetap melanjutkan penyerangan terhadap kami, Dewan Komite Ural memutuskan untuk mengeksekusi Anda."

Sontak Nicky berkata,"Apa? Apa?" lalu memandangi anak-anak dan isterinya, dimana puteri tertuanya, Olga dan isterinya membuat tanda salib dan ditembaklah Nicky dibagian kepala dan meninggal di tempat, begitu juga dengan isterinya. Olga dan Tatiana (dua puteri tertua) menjerit meratapi mayat ibunya dan saling berpelukan sedangkan Aleksey duduk mematung dengan wajah pucat berlumuran darah ayahnya. Karena asap tembakan memenuhi ruangan yang sempit, para eksekutor keluar dan kembali setelah asap mulai menghilang. Lalu dilanjutkan pembunuhan terhadap Aleksey dengan menembakkannya di bagian dada namun tidak mempan karena bajunya dihiasi oleh berlian, setelah itu ditusuk dengan bayonet dan tidak mempan juga. Karena mengetahui Aleksey masih bernafas, dua tembakan dihujamkan ke bagian belakang telinga menyebabkan Aleksey meninggal seketika. Eksekutor lainnya sibuk dengan Olga dan Tatiana yang berusaha melarikan diri. Mereka mencoba menusuk Grand Duchesses dengan bayonet berulang kali namun gagal karena berlian yang disematkan pada bajunya. Tatiana mencoba bangkit namun ditembak di bagian belakang kepala sedangkan Olga ditembak di bagian rahang oleh Yurovsky. Keduanya meninggal di tempat. Eksekutor yang sedang mabuk bernama Peter Ermakov bertugas membunuh Maria yang terluka saat tembakan pertama dan Anastasia (dua puteri termuda), dengan menusuknya di bagian perut namun tidak mempan karena baju yang berhias berlian, lalu menembaknya. Karena mabuk, dia mengatakan telah membunuh keduanya dengan tembakan. Kemudian mayat-mayat tersebut dibawa dengan truk menuju pertambangan di kaki Pegunungan Ural. Di tengah perjalanan, Maria berteriak meminta pertolongan dengan suara lirih menahan sakit dan dipukulah wajahnya hingga Ia terdiam. Mayat-mayat tersebut disiram dengan asam sulfat pekat untuk menghilangkan identitas dan dua anak Nicky lainnya yaitu Aleksey dan Maria/Anastasia dibuang sejauh 2 KM dari keluarganya. Diyakini bahwa anak-anak Nicky meninggal dengan sangat pelan dan sakit (hanya Nicky, isteri dan 2 pembantu prianya yang meninggal seketika pada tembakan pertama). Banyak rumor yang menyebutkan bahwa puteri termudanya, Anastasia berhasil lolos dari pembunuhan dan banyak orang mengaku sebagai Anastasia untuk mengklaim kekayaan keluarga Romanov. Rumor tersebut terus bergulir sampai akhirnya terpatahkan saat ditemukan sisa tulang belulang mereka pada tahun 1978 dan 2 anak Nicky lainnya yaitu Aleksey dan Maria/Anastasia pada tahun 2007 menggunakan sampel DNA Pangeran Philip, suami Ratu Elizabeth II dari Inggris yang masih memiliki hubungan darah dengan isteri Nicky, Alix atau Alexandra (kakaknya yaitu Princess Victoria of Hesse and by Rhine merupakan nenek Pangeran Philip). Sisa tulang belulang keluarga kaisar terakhir Rusia dimakamkan di Gereja Orthodox St. Peter dan Paul di St. Petersburg pada tahun 1998 setelah dilakukan identifikasi lebih lanjut pada tahun 1991 sementara Aleksey dan Maria/Anastasia baru dimakamkan bersama dengan keluarganya pada tahun 2007. Tidak ada akhir cerita bahagia dari keluarga terakhir Romanov setelah ditemukannya seluruh sisa tubuhnya. Setelah runtuhnya dinasti Romanov yang berkuasa selama 304 tahun, terbentuklah negara Republik Sosialis Federasi Soviet tahun 1918, lalu Uni Soviet pada tahun 1922 - 1991 hingga pecah kembali menjadi negara Republik Federasi Rusia sampai saat ini yg dipimpin oleh seorang presiden. Dari cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa komunis bukan hanya musuh agama Islam melainkan juga musuh agama lain yang tidak ingin mencampur urusan agama dengan politik karena dianggap dapat menghambat. Keluarga kaisar Rusia dikenal sebagai keluarga Kristen Orthodox yang sangat taat. Oleh karena itu pasukan Bolsheviks ingin membersihkan garis keturunan Romanov. Dari 53 Romanov yang menjadi target pembunuhan, ada 35 Romanov yang berhasil lolos, beberapa termasuk keluarga terdekat Nicky seperti Dowager Empress Maria Feodorovna (ibu Nicky), Grand Duchesses Olga dan Xenia Alexandrovna (saudara perempuan Nicky), Grand Duke Dmitri Pavlovich, Grand Duchess Maria Pavlovna (sepupu Nicky), Princess Irina Alexandrovna (keponakan Nicky), dan Prince Felix Yusupov (suami Princess Irina Alexandrovna). Sebagian keluarga yang selamat diasingkan di Livadia Palace, lalu diselamatkan oleh kapal kiriman Ratu Alexandra dari Inggris (Isteri Raja Edward VII dari Inggris yang merupakan tante Tsar Nicholas II) dan tinggal hingga akhir hayatnya di luar Rusia.
Ilustrasi Tsar Nicholas II, isteri, anak, dan 4 pembantu setianya saat
berada di dalam Basement Ipatiev House sesaat sebelum dibunuh
Kondisi Basement Ipatiev House setelah pembunuhan (Ekaterinburg, Siberia 1918)

Pada tahun 1970-an, Ipatiev House yang juga disebut House of Special Purpose dirobohkan dan dibangun gereja sekaligus museum yang diberi nama Church on the Blood yang juga berisi banyak patung Tsar Nicholas II dan keluarga untuk mengenangnya. Berdasarkan beberapa sumber yang saya baca, perhiasan, tiara, mahkota penuh mutiara dan berlian serta baju kekaisaran dipajang di suatu tempat di Belanda dan Amerika sedangkan beberapa istana tempat tinggal keluarga kaisar seperti Winter Palace (sekarang The State Hermitage), Chaterine Palace, Livadia Palace dan Alexander Palace dijadikan museum.

Baca juga kisah hidup Grand Duchess Olga Nikolaevna of Russia

Sumber: Sebagian diambil dari buku karangan Helen Rappaport yang berjudul Romanov Sisters: The Lost Lives of the Daughters of Nicholas and Alexandra.


Dari kiri atas searah jarum jam: Tsar Nicholas II, Tsarina Alexandra Feodorovna, Grand Duchesses Olga,
Tatiana, Maria, dan Anastasia Nikolaevna dan Tsesarevich Alexei Nikolaevich, 1913