Sunday 7 August 2016

CERPEN: BERMULA SECAWAN KOPI HANGAT

August 07, 2016 by Tia Esha Nombiga

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

BERLIN
Winter 2015
Gumpalan salju yang terbentuk dari milyaran kristal es berjatuhan menutupi seluruh jalan, pepohonan, dan atap rumah. Lima lapis baju yang ku kenakan seakan tak mampu menghalau angin dingin yang berhembus hingga mampu menusuk tulangku. Bahkan cahaya mentari pada pagi hari yang menyeruak menembus awan tak mampu membuat udara mengalah untuk menaikkan temperaturnya, setidaknya di atas -5oC.

Aku menyadari bahwa sepanjang malam hanya tertidur beberapa jam saja, dengan sesekali terjaga. Aku masih belum mampu melupakan kenanganku dengan orang-orang terkasih yang pernah menjadi bagian hidupku. Aku kehilangan Ayah dan wanitaku dalam kurun waktu satu tahun. Ayahku meninggalkan dunia yang fana ini akibat penyakit jantung yang tidak pernah disadari olehnya sekitar tiga bulan lalu sedangkan wanitaku pergi meninggalkanku karena tak sanggup menjalani hubungan jarak jauh denganku. Sebenarnya banyak problema yang kami hadapi. Rasanya tidak mungkin jika putus cinta hanya karena hubungan jarak jauh. Toh studiku sudah rampung tahun depan jika tidak ada aral melintang. Aku bertekad bahwa aku harus segera menyelesaikan studiku di Berlin agar aku bisa kembali ke tanah air. Kebetulan Ibuku hanya tinggal seorang diri di Surabaya karena kakakku sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Aku adalah seorang anak laki-laki berumur 20 tahun yang sedang berjuang menuntut ilmu keteknikan di benua jiran. Saat ini aku tengah menempuh pendidikan tingkat akhirku untuk memperoleh gelar sarjana teknik di Universitat Technische Berlin.

Dua jam sudah aku terbuai dalam lamunanku, lantas aku tersontak kaget karena aku memiliki jadwal kuliah yang harus aku jalani satu jam mendatang. Aku bergegas memanfaatkan separuh waktuku yang tersisa untuk membersihkan diri walau pada saat itu udara dingin sangat menusuk. Setibanya di kampus, aku menyempatkan diri untuk sarapan dengan membeli sedikit makanan ringan serta se-cup kopi susu hangat. Seperti biasanya, otakku sepertinya sudah diatur untuk tidak menerjemahkan semua informasi yang disampaikan oleh dosen mata kuliah Rekayasa Pondasiku jika berbicara mengenai filsafat. Tiba-tiba terdengar suara lirih berbicara kepadaku (dalam bahasa Jerman tentunya)

“Bisakah kamu mengajariku cara menyelesaikan soal ini?” *Wanita bule ini menyodorkan soal perhitungan pondasi beton bertulang yang kebetulan memang keahlianku*
“Mmm beri aku waktu sebentar, aku akan menyelesaikannya.”
Dalam waktu tak sampai 5 menit, aku mampu menyelesaikan soal itu. Kemudian aku memberitahu cara menyelesaikan soal itu dengan trik yang kubuat sendiri. Wanita bule ini tampaknya senang dengan trik mudah yang kuberikan kepadanya.
“Ich heisse Scott, Stefanie Noelle Scott. Wie heist du?”tanya wanita bule tersebut.
“Namamu Scott? Kamu pasti bukan berasal dari Jerman.”
“Bagaimana kamu bisa tahu? Padahal aku belum menyebutkan darimana asalku.”
“Aku hapal nama-nama orang di seluruh dunia ini. Namaku Bayu Faisal Hartono. Asalmu dari mana?”
“Kamu tahu aku bukan dari Jerman tapi kamu bertanya darimana asalku? *mengernyitkan dahi* Aku dari Los Angeles, California. Kamu?
“Aku hanya menebak. *tertawa* Aku dari Indonesia.”
*ikut tertawa* Bali?”
“Ya benar. Kamu pernah ke Bali?”
“Belum. Namun aku tahu nama lain Indonesia adalah Bali.”
“Kamu salah, Bali itu adalah nama salah satu pulau di Indonesia. Kamu tahu, Indonesia adalah negara kepulauan yang dikelilingi oleh laut yang sangat kaya akan biota alamnya. Kamu harus mengunjungi Indonesia jika ada waktu senggang.”
“Benarkah? Aku akan mencobanya musim panas ini, kamu mau mengantarku?”
“Tentu.”sahutku.
“Aku akan mengantarmu ke Amerika jika kamu mau.”balas Stefanie.
“Aku seorang Muslim. Bukankah apabila Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat, dia tidak akan mengijinkan Muslim untuk mengunjungi negaramu?”
“Lantas Donald Trump tidak akan mengijinkan Raja Saudi Arabia yang kaya raya untuk mengunjungi negaraku.”sanggah Stefanie.
“Ya seharusnya Trump tidak pilih kasih.”balasku.
“Kalau begitu aku tidak akan memilih Trump agar kamu dapat mengunjungi negaraku.”
“Aku suka sekali dengan gaya berbicaramu Mrs. Scott. Ngomong-ngomong kita belum pernah bertemu sebelumnya? Sebelumnya kamu pernah mengambil kelas ini?”
“Aku sudah sering bertemu denganmu. Dengar cerita, kamu salah satu mahasiswa yang cerdas, oleh karena itu aku mendekatimu untuk bertanya soal ini, dan ternyata kamu memang cerdas. Pasti kamu sering pergi ke perpustakaan untuk mencari literatur?”
“Kata siapa? Aku cerdas hanya karena aku tidak tertidur seperti dia *menunjuk mahasiswa yang tertidur* saat Herr Hartmann menjelaskan tentang filsafat hidupnya *tertawa*.”
*ikut tertawa* Kamu bisa berkelakar juga Mr. Hartono.”
“Panggil saja aku Bayu.”
“Kalo begitu panggil saja aku Stefanie.”

Sepertinya aku mulai menemukan cahaya baru di dalam hidupku. Cahaya yang menuntunku di dalam kegelapan menuju jalan keluar. Sejak pertama kali bertemu dan berbicara dengan Stefanie, kali pertama jantung ini merasakan kembali rasanya memompa darah dengan frekuensi di atas manusia normal. Jantungku berdetak lebih kencang jika cinta mengalir dan menyumbat sepanjang pembuluh darahku. Kami hampir setiap hari mengambil kelas dan dosen yang sama sehingga membuat kami intens bertemu.

Saat senja yang layu mulai menunjukkan wajahnya, aku melihat Stefanie terlibat cekcok dengan wanita bule berwajah sedikit oriental dengan tinggi semampai di taman kampus. Wanita itu meninggalkan Stefanie yang menangis tersendu-sendu. Aku mendekati Stefanie untuk menanyakan apa yang terjadi. Dia bercerita bahwa wanita itu adalah sahabat sekampungnya bernama Kelsey Chow. Dia cemburu karena aku sering bersama dengan Stefanie. Aku memahami hal ini karena membuat Stefanie tidak memiliki banyak waktu untuk bersenda gurau dengan Kelsey, sahabatnya.


***

Aku menemukan gelagat yang aneh pada diri Stefanie sejak peristiwa cekcok itu. Tidak seperti biasanya dia menjauhiku, bahkan saat aku memanggil namanya di koridor kampus. Seakan dia tidak mengenaliku dengan memalingkan wajahnya. Aku berusaha mencari tahu yang terjadi. Tidak mungkin seorang sahabat perempuan melarang sahabat perempuannya untuk menjalin kasih atau sekedar berteman dengan teman prianya. Aku membuntuti Stefanie dan mendapati dia bertemu dengan Kelsey di taman pinggir sungai. Tanpa diduga, mataku terbelalak melihat Stefanie bermesraan dengan sahabat perempuannya itu. Bibir mereka saling bertautan tanpa memedulikan orang di sekitar. Ini bukan lagi kasih sayang seorang sahabat kepada sahabat, melainkan kasih sayang seperti sepasang kekasih.

Akhirnya aku menyadari bahwa selama ini aku mengagumi dan mencintai seorang Lesbian. Sejak saat itu pula aku menghapus segala sesuatu yang berhubungan dengan Stefanie seperti arsip percakapan di media elektronik, hadiah, foto, bahkan minyak wangi miliknya yang tertinggal di flatku walau itu sangat berat. Hanya memori kenangan dalam otakku yang tersisa. Aku ingin amnesia saja rasanya. Aku tahu bahwa menjadi Lesbian itu bukan keinginannya dan tak seharusnya aku memusuhinya karena dia tetaplah manusia yang seharusnya diperlakukan dengan baik. Namun hatiku telanjur hancur karena Stefanie tega meninggalkan benih cinta di dalam hatiku tanpa memberitahu latar belakang dia terlebih dahulu.

Satu bulan telah berlalu tanpa hadirnya sapaan pagi yang hangat dari Stefanie. Aku merindukan kebersamaanku dengan Stefanie. Aku tidak pernah melihat dia berada di kelas yang biasa kami tempati. Hanya sesekali dan itupun seperti dua orang yang tidak saling mengenal. Aku tahu Stefanie pernah mencintaiku. Aku bisa merasakan melalui tatapan mata cokelatnya yang seakan berbinar apabila menatapku. Aku berusaha mencari tahu apa yang dirasakan Stefanie saat ini. Aku takut jika Stefanie berada pada kondisi yang tidak bahagia dan terkungkung oleh pacar wanitanya yang posesif. Dengan berani, aku menghampiri Kelsey di flatnya saat Stefanie sedang kuliah.

“Mengapa kamu melarangku bertemu Stefanie?”tanyaku pada Kelsey.
“What’s your problem?”tanya Kelsey balik.
“AKU MENCINTAI STEFANIE.”jawabku Bayu.
*Kelsey tertegun mendengar jawabanku*
“Tak seharusnya seorang sahabat perempuan melarang sahabat perempuannya untuk memperoleh kebahagiaan bersama laki-laki yang dia cintai.”sambungku Bayu.
“Kebahagiaan apa yang bisa kamu berikan?”
“Yaa aku bisa membuatnya merasa nyaman dan aman di dekatku.”
“Jangan ganggu dia lagi atau aku … “

Belum sempat melanjutkan perkataannya, Stefanie datang. Kemudian dengan sigap, Kelsey menarik tangan Stefanie lalu menyuruhnya masuk. Aku hanya terdiam dan tak mampu berbuat apa-apa. Aku pulang dengan berjuta pertanyaan di kepalaku. Aku merasakan bahwa Stefanie tidak bahagia. Aku bisa membaca matanya seperti memintaku untuk tetap tinggal.

Keesokkan harinya, tanpa disengaja aku bertemu Stefanie pada jam kosong di Hall D kampus. Aku memanggilnya namun Stefanie tidak mengindahkanku. Aku melihat matanya menghitam seperti orang yang baru saja menangis dalam waktu yang cukup lama. Aku terus mengejar Stefanie untuk meminta penjelasan darinya. Akhirnya ia luluh dan mau berbicara denganku. Dia menjelaskan alasannya menjauhiku karena ayahnya tidak menyukai apabila anaknya berteman dengan Muslim. Menurutnya Muslim adalah penjahat berkedok agama. Namun bukan itu jawaban yang aku inginkan. Stefanie melengos dengan menggelengkan kepala tanpa menjawab semua pertanyaanku.

Sejak saat itulah aku tidak lagi berusaha menemui Stefanie. Aku tahu bahwa masa depanku yang sebentar lagi ku raih telah berada di depan mataku. Aku tak mau semua masalah ini mengganggu konsentrasiku untuk segera menyelesaikan studiku. Aku berusaha melupakan Stefanie dengan menyibukkan diri, setidaknya untuk mengurangi bayangan Stefanie di kepalaku yang mau pecah ini karena terlalu sesak memenuhi kepalaku.

BERLIN
Summer 2016 Atau Dua Bulan Kemudian
Ketika sang mentari mulai menyinari bumi bagian utara lebih banyak dari beberapa bulan yang lalu, jarum jam dimajukan sebanyak satu angka pada pukul 2 dinihari menjadi pukul 3 menunjukkan libur musim panas telah tiba. Biasanya aku melakukan perjalanan santai bersama temanku untuk memanfaatkan Visa Schengen agar dapat mengelilingi Uni Eropa. Namun sekarang aku harus lebih hemat dalam menggunakan uang sakuku selama satu bulan karena ayahku sebagai tulang punggung telah meninggal. Aku merasa tidak enak hati jika harus meminta uang tambahan kepada kakakku karena dia sudah berkeluarga. Aku berencana mencari pekerjaan paruh waktu untuk menambah uang sakuku. Sebenarnya banyak dosen di kampusku yang menawariku proyek fakultas, namun aku menolaknya karena belum percaya diri dengan kemampuanku.

Setelah mencari lowongan pekerjaan paruh waktu dibeberapa situs internet, akhirnya aku menemukan pekerjaan yang cocok denganku yaitu sebagai penyanyi di salah satu kedai kopi di sudut Kota Berlin. Ternyata kedai kopi ini milik orang Indonesia yang bermukim di Jerman. Aku belum menyadari sampai aku bertemu dengan pemilik kedainya. Mas Ratmo, begitu nama pemilik kedai kopi ini mulai menjalani bisnisnya pada tahun 2011 yang diberi nama Jentsch Kaffee. Mas Ratmo ini masih terbilang muda. Umurnya tidak sampai kepala empat jika dilihat dari raut wajahnya yang masih fresh. Namun beliau paham betul bagaimana menjadi seorang leader dalam suatu bisnis. Awal mula Mas Ratmo mendirikan bisnis ini ketika beliau bertemu dengan isterinya di suatu kedai kopi lesehan di Jogjakarta pada tahun 2006. Karena Mas Ratmo dan isterinya sama-sama penikmat kopi, mereka berdua berangan-angan untuk mendirikan kedai kopi bernuansa Indonesia di luar negeri guna memperkenalkan dan melestarikan kopi yang ditanam di tanah tropis Indonesia. Angan itupun terwujud pada tahun 2011. Isteri mas Ratmo merupakan warga asli Jerman. Nama Jentsch pun diambil dari nama belakang isterinya. Awalnya Mas Ratmo menjual minuman kopi yang terbuat dari Kopi Jawa bernama Jampit dan Blawan. Beliau meracik kopinya sendiri sedari berbentuk buah. Karena pengunjung semakin membludak yang tak hanya didominasi oleh turis, mahasiswa, ataupun ekspatriat Indonesia yang tinggal di sana, Mas Ratmo menambah varian menu kopi yang tidak hanya dibuat dari Kopi Jawa, melainkan Kopi Sumatera, Toraja, Papua, dan tentunya tak lupa yang paling mahal dan terkenal, Kopi Luwak. Uniknya pegawai yang dipekerjakan oleh Mas Ratmo ini kebanyakan orang Indonesia, itu sebabnya mungkin aku bisa diterima bekerja di sini. Sungguh kehormatan bagi aku bisa bekerja sama dengan teman sekampung halaman. Aku hanya bekerja pada malam hari dari pukul 20.00 sampai 00.00 setiap hari Selasa, Kamis, dan Jumat. Kebetulan aku memiliki bakat bermusik yang diturunkan melalui gen ibuku. Walupun bayarannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya hidup di Jerman, namun cukup untuk memenuhi uang sakuku yang hanya diberikan setengah dari uang sakuku yang biasanya. Dan yang paling penting adalah supaya aku bisa melupakkan semua kenanganku tentang Stefanie. “Why haven’t I moved on yet? Oh God please help me. But I know it’s still 2 months. I need a couple hundred months I guess.”

Aku bersyukur semua pengunjung kedai sangat mengapresiasi suaraku. Mereka mengatakan bahwa suaraku tidak dimiliki oleh suara orang Barat pada umumnya. Aku bahkan tidak mengerti dimana letak perbedaan suaraku dengan suara orang Barat. Mereka mendeskripsikan suaraku lembut namun berat. Aku biasanya membawakan lagu yang sedang terkenal, namun sesekali aku membawakan lagu lawas berbahasa Jerman dan Prancis apabila pengunjung didominasi lansia. Aku juga sering membawakan lagu dari Indonesia dan mereka sangat menyukainya.

*Tujuh Bulan Kemudian*

Aku bergerak secepat mungkin untuk mengejar tram agar tidak terlambat karena aku harus mengisi acara live music di Jentsch Kaffee yang akan dimulai 20 menit lagi. Aku paham sekali kebiasaan warga Jerman sangat menghargai waktu walau hanya beberapa detik saja.

“Maaf mas aku terlambat 3 menit.”kataku Bayu.
“Tidak masalah. Ini salahku. Hari ini Dennis berhalangan hadir. Kamu menggantikan Dennis ya? Ini daftar lagu yang harus kamu bawa.”
“Vielen dank, Mas Ratmo.”balasku.

Tanpa diduga, aku melihat Kelsey duduk bersama seorang pria di ujung ruangan kedai. Sepertinya Kelsey belum menyadari kalau yang bernyanyi adalah aku. Dua jam berlalu, Kelsey dan teman prianya belum beranjak dari kedai. Sepertinya mereka terlibat pembicaraan yang serius, terlihat dari tatapan kedua mata mereka, hanya sesekali canda dan tawa yang dapat dihitung dengan jari karena sedari awal aku memperhatikan mereka.

Lusa, aku bertemu kembali dengan Kelsey di Jentsch Kaffee, namun seorang diri. Aku bertanya kepada temanku, Maximillian, yang juga waiter di sini tentang Kelsey karena ku pikir Kelsey salah satu pelanggan yang sering berkunjung ke Jentsch Kaffee. Ternyata benar, Maxi berkata bahwa Kelsey termasuk salah seorang pelanggan yang sering berkunjung ke kedai ini, terutama pada siang dan sore hari. Maklum, aku bekerja sebagai penyanyi pada malam hari sehingga tidak terlalu memperhatikan pengunjung yang datang. Saat ingin membayar tagihan di meja kasir, Kelsey melihatku dan berusaha menghindar setelahnya. Aku dengan sigap menghampirinya untuk berbicara empat mata. Aku mengajaknya kembali duduk di kedai untuk menemaniku menikmati secawan Kopi Cappuccino yang terbuat dari biji Kopi Sumatera dan scrambled egg yang menjadi menu andalannya. Setelah berbicara cukup lama, akhirnya aku menemukan titik kebenaran atas semua misteri hubungan tak lazim mereka selama ini.

“Stefanie itu penuh kepalsuan Bayu. Dia pintar menjadi aktris. Aku korbannya. Kamu harus mempercayaiku, aku mohon. Dahulu aku seorang wanita normal sampai aku bertemu Stefanie. Aku sering disakiti oleh pacarku (read: pria), dan Stefanie tempat bersandarku. Dia sudah  ku anggap seperti saudaraku sendiri sampai akhirnya dia menggodaku yang membuat aku luluh dan kita menjalin hubungan kekasih selama dua tahun. Aku disekap di kamarnya dan hanya dijadikam pemuas nafsu dirinya. Aku hanya diperbolehkan keluar flat ketika kuliah. Aku mohon tolong aku."jelas Kelsey.
“Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Lalu apa yang terjadi dengan Stefanie? Dia sering menangis. Dia juga menjauhiku."tanyaku.
“Mungkin kamu dianggap berbahaya bagi kami karena kamu sudah mengetahui hubungan kami.”
“Lalu apa yang terjadi saat aku mengunjungi flatnya, kemudian kamu menarik tangannya dan berkata untuk jangan menggangu Stefanie lagi? Aku berpikir di sini Stefanie lah korbannya.”tanyaku.
“Stefanie yang membuat semua sandiwara ini. Jika tidak mau mengikutinya, dia akan menghajarku, lalu menangis sejadi-jadinya. Aku mohon tolong aku. Biarkan aku tinggal di flatmu sampai perpanjangan visa ku terurus kembali, setidaknya sampai studiku selesai akhir tahun ini. Aku ingin pulang ke Amerika."ucap Kelsey dengan nada memohon.

Aku mencari data diri Kelsey di seluruh media sosial di internet karena penasaran. Ternyata tidak sesulit yang ku kira karena Kelsey termasuk wanita yang sering berselancar di internet. Nama aslinya adalah Kelsey Asbille Chow (Chow diambil dari nama ayahnya yang berkewarganegaraan Taiwan). Setelah lulus dari Allen County Scottsville High School di Kentucky, dia melanjutkan pendidikan sarjananya di HTW Berlin. Lalu dia tinggal satu flat dengan Stefanie dan jadilah mereka teman yang akrab. Ternyata memang benar jika Kelsey pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan pria saat masih SMA. Dia tidak seutuhnya menjadi seorang Lesbian. She used to be normal girl. Aku menghubungi semua teman facebook Kelsey yang masih aktif untuk bertanya mengenai identitas Kelsey. Banyak dari mereka berkata bahwa Kelsey adalah salah satu wanita yang populer di sekolahnya. Dia banyak digandrungi pria kerena dia cantik, pintar, ramah, dan periang. Dengan dasar itulah aku menyetujui Kelsey tinggal di flatku untuk sementara. Tapi Stefanie, aku sulit menemukan identitas dirinya di internet. Dia sepertinya orang yang lebih suka menutupi privasi dan hidupnya untuk konsumsi publik di dunia maya.

Aku menunggu Kelsey di depan kampusnya saat jam pulang tiba. Sebelumnya kami sudah membuat perjanjian untuk bertemu dan menjemputnya. Hati nuraniku menuntun untuk mempercayai Kelsey. Dua jam sejak kelas yang diisi oleh Kelsey selesai, namun batang hidung Kelsey tak kunjung muncul jua. Berkali-kali ku hubungi ponselnya namun tidak ada jawaban. Ku hubungi hingga yang ke-12 kalinya, namun ditolak dan dimatikan ponselnya. Aku merasa sesuatu terjadi pada Kelsey. Aku mendatangi flatnya namun tidak ada jawaban. Ku hubungi Stefanie namun nomor ponselnya sudah tidak aktif. Perasaan takut dan khawatir muncul pada diriku. Khawatir jika terjadi sesuatu pada wanita penyuka kopi tersebut. Aku tersadar bahwa aku telah jatuh ke dalam cintanya sejak menikmati kopi bersama tempo hari. Tatapan matanya yang sayu seolah mengisyaratkan kalau dirinya lelah dan butuh sandaran. Aku menunggu balasan dari Kelsey hingga empat hari. Aku tidak tenang apabila harus menunggu selama ini. Aku mendatangi kampusnya dan terkejut bahwa Kelsey tidak mengikuti kuliah sejak empat hari yang lalu. Aku mendatangi kantor polisi dengan melapor bahwa ada wanita muda yang sedang sakit jiwa menyekap seorang Wanita Amerika keturunan Tionghoa di Simon-Boliver Strasse 21 walaupun aku belum memiliki bukti yang cukup kuat. Namun polisi tidak mempercayaiku karena mungkin aku bukan orang pribumi dan banyak laporan palsu yang datang beberapa hari terakhir. Aku tidak menyerah sampai di sini. Aku meminta bantuan Maxi untuk berpura-pura menjadi pengantar pizza di flat tempat tinggal Kelsey dan Stefanie. Aku mengamati dari kejauhan. Ternyata Stefanie merespon Maxi dan menerima pizza yang tertulis dipesan oleh Mrs. Kelsey Asbille. Aku yakin Kelsey ada di dalam flat.

Esok harinya aku membuat rencana untuk menyelinap masuk ke dalam flat yang terdiri dari beberapa kamar itu. Aku menunggu di depan kamar Stefanie dan Kelsey. Saat mengetahui Stefanie yang keluar, dengan sigap aku menarik Stefanie ke dalam tempat yang sepi. Aku mengintimidasinya sampai dia memberitahu keberadaan Kelsey. Stefanie menangis tersendu-sendu. Rasa kasihanku terhadap wanita seolah hilang. Aku terus mengintimidasinya hingga dia mau mengantarku ke dalam kamarnya untuk bertemu dengan Kelsey. Aku terkejut melihat Kelsey diikat seperti binatang. Wanita gila ini mengikat tangan, kaki, dan mulutnya supaya tidak dapat berteriak. Aku juga melihat banyak luka di tubuh Kelsey. Dia menangis ketakutan dan tak kuasa melepaskan diri. Rupanya selama ini Stefanie mengetahui apabila Kelsey meminta bantuan kepadaku, lalu menyekap Kelsey supaya dia tidak dapat bertemu denganku. Aku melepas semua tali yang mengikat tubuh Kelsey, lalu memeluk dan menciumnya. Saat Stefanie ingin melarikan diri, temanku, Maxi berdiri dengan gagah di luar pintu kamar, lalu menangkap Stefanie dan membawanya ke kantor polisi. Hasil pemeriksaan menunjukkan Stefanie memiliki gangguan kejiwaan yang bernama Bipolar Disorder dan Disorientasi Seksual. Pihak berwenang membawanya ke pusat rehabilitas untuk mendapatkan pengobatan. Mereka juga menghubungi keluarganya di Los Angeles untuk penanganan lebih lanjut. Aku membawa Kelsey ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan karena dia mengalami dehidrasi berat dan juga trauma psikis. Aku menemaninya sepanjang malam hingga Kelsey dinyatakan sembuh total. Aku berjanji kepada Kelsey bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat menyakiti dirinya, walaupun seorang wanita sekalipun. Aku tak habis pikir, wanita yang selama ini ku kira sebagai penyembuh hatiku yang gundah ternyata menipuku. Dia tak ubahnya seorang psikopat dengan melakukan penipuan terhadap wanita muda yang menjadi pemuas nafsunya. Dia mendekati pria hanya untuk menutupi kedoknya sebagai seorang penyuka sesama jenis.

*TAMAT*

*Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama tokoh dan setting.

Dari kiri atas searah jarum jam: Anton Tanjung sbg Bayu, Stefanie Scott sbg Stefanie, Logan Lermann sbg Maximillian, dan Kelsey Asbille sbg Kelsey Chow