Tuesday 18 November 2014

APA ITU MIMPI?

November 17, 2014 by Tia Esha Nombiga

Mimpi? Apa itu mimpi? Orang bilang mimpi itu adalah bunga tidur. Menurut definisi gue, mimpi adalah hasil dari pemikiran kita yang dilakukan secara terus-menerus dan biasanya merupakan beban pikiran dimana hasil dari pemikiran tersebut akan divisualisasikan saat tidur, entah pada hari itu atau esoknya. Terkadang gue selalu berpikir buat apa hanya bermimpi kalau pada akhirnya itu gak bisa menjadi kenyataan. Saat kita bermimpi indah lalu terjaga dari tidur, kita merasa sudah diberi harapan kosong oleh mimpi tersebut. Saat kita bermimpi buruk lalu terjaga dari tidur, kita merasakan ketakutan yang luar biasa seakan-akan nyata dan mengalaminya. Intinya mimpi itu gak enak, dulu gue berpikir begitu. Tapi semua pemikiran gue berubah sejak salah satu dari mimpi gue (mimpi saat tidur) jadi kenyataan yang sampai sekarang gak pernah gue sangka karena masih terjadi sampai sekarang. Gue bersyukur banget akan hal itu.


Gue mengubah pola pikir bahwa kita semua butuh mimpi. Kita gak akan pernah memiliki cita-cita apalagi menggapainya tanpa memiliki mimpi. Kita gak akan tau mau jadi apa tanpa memiliki mimpi. Seseorang yang gak pernah mengerti arti hidup adalah orang yang gak punya mimpi. Banyak dari mereka menertawakan orang yang kerjaannya cuma mimpi, mimpi, dan mimpi...

"Mimpi lo ketinggian, udah jatuh mah sakit."

"Apa? Itu mimpi lo? Gak salah? Gak mungkiiiiin"

Kalimat-kalimat semacam itu sering kita dengar. Terkadang gue tertawa kecil mendengar orang yang berkata seperti itu. Betapa sedih hidupnya. Orang seperti itu biasanya menganggap dirinya memiliki kelebihan karena bagi mereka, tanpa bermimpi, mereka yakin bisa menggapainya. Aku sering bertanya "Tanpa bermimpi mereka bisa menggapainya? Lantas apa yang akan mereka gapai? Sedangkan mereka tak punya mimpi?"

Friday 7 November 2014

KITA "KISAH NYATA": SOPHIE SCHOLL, POTRET MAHASISWI JERMAN ANTI-NAZI

November 06, 2014 by Tia Esha Nombiga


Dari kiri ke kanan: Sophie Scholl, Hans Scholl, dan Christoph Probst
NAZI menancapkan kekuasaannya di tanah Eropa, terutama Eropa Barat dan sekitarnya selama 12 tahun, terhitung dari tahun 1933 sampai 1945. Selama itu pula, NAZI telah meninggalkan banyak luka mendalam, baik bagi korban maupun rakyat Jerman yang secara langsung menyaksikan kekejaman NAZI. Kita ketahui bahwa NAZI adalah sebuah partai politik anti-semit yang dipimpin oleh Adolf Hitler, seorang diktator berkewarganegaraan Austria yang bertanggung jawab atas kematian puluhan juta umat manusia di tanah Eropa. Perlu Anda ketahui, korban Hitler tidak hanya sebatas kaum Yahudi saja, tetapi kaum yang dianggap tidak berguna untuk hidup di dunia seperti homoseksual dan cacat fisik ataupun mental. Hitler hanya menginginkan Jerman dihuni oleh bangsa murni Jerman yaitu bangsa Arya sehingga kelak diperoleh keturunan yang paling baik tanpa adanya campuran ras dari bangsa lain. Tindakan Hitler ini konon terinspirasi dari teori Charles Darwin, dimana ras yang merugikan dihilangkan sedangkan ras yang menguntungkan tetap dipertahankan agar diperoleh keturunan yang terbaik (Sumber: National Geographic Indonesia). Tindakan yang dilakukan oleh Hitler ini dianggap tidak berprikemanusiaan oleh sebagian rakyat Jerman, termasuk seorang mahasiswa Universitas Munich yang bernama Sophie Scholl.

Gadis itu bernama lengkap Sophie Magdalena Scholl, seorang mahasiswa berkebangsaan Jerman yang lahir pada tanggal 09 Mei 1921 dan wafat pada tanggal 22 Februari 1942 ketika dia berumur 21 tahun. Sophie Scholl tercatat sebagai mahasiswa jurusan biologi dan filsafat di Universitas Munich pada bulan Mei 1942. Sophie Scholl adalah seorang mahasiswa kebanyakan yang memiliki pemikiran kritis, dimana dia sangat menentang pemerintahan pada saat itu yang menurut dirinya tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia sehingga menjadikan dia seorang aktivis anti-NAZI. Pada saat itu, Jerman sedang dipimpin oleh Hitler yang menjabat sebagai Kanselir (read: kepala pemerintahan Jerman/setingkat dengan perdana menteri apabila di negara monarki), sekaligus Fuehrer (read: gelar militer atau merujuk kepada pemimpin tertinggi di Jerman). Mendengar Jerman mengalami kekalahan di Front Timur, Sophie Scholl bersama dengan kakak laki-lakinya yaitu Hans Scholl segera membuat sebuah seruan untuk menghentikan dan menentang pergerakan NAZI melalui selebaran secara sembunyi-sembunyi. Hans Scholl yang juga mahasiswa Universitas Munich jurusan kedokteran ikut membantu Sophie dalam menyebarkan selebaran anti-NAZI. Selebaran itu disebarkan kepada seluruh mahasiswa Universitas Munich pada saat jam kelas sedang berlangsung karena dikhawatirkan kegiatan mereka akan diketahui oleh pihak kampus. Mereka tidak bekerja sendiri karena Sophie dan Hans tergabung dalam sebuah organisasi yang diberi nama Mawar Putih (Weisse Rose) yang terdiri dari mahasiswa anti-NAZI pada awal musim panas tahun 1942. Weisse Rose itu sendiri adalah sebuah organisasi anti-NAZI yang berisi orang-orang terpelajar.
The White Rose Group
Namun malangnya, beberapa hari sejak disebarkan selebaran itu, Sophie melemparkan satu set selebaran dari atas gedung dan terlihat oleh Janitor (pegawai kebersihan). Kemudian Janitor mengadukan hal tersebut kepada Gestapo (Kepolisian NAZI) dan tanpa waktu panjang, keduanya ditangkap. Sophie dan Hans ditangkap bersama dengan rekannya yang bernama Christoph Probst pada tanggal 18 Februari 1943. Kemudian Sophie, Hans, dan Christoph diinterogasi oleh seorang interrogator handal yang bernama Robert Mohr. Awalnya mereka mengelak jika mereka melakukan hal tersebut tetapi karena kehandalan Robert Mohr dalam mengulik fakta demi fakta yang menyudutkan ketiganya, maka pada akhirnya Sophie mengaku kalau mereka adalah aktivis anti-NAZI. Robert Mohr tidak melakukan intimidasi fisik (read: penyiksaan) ketika menginterogasi ketiganya, melainkan dengan perang kata-kata yang membuat ketiganya tanpa sengaja berbicara mengenai fakta yang pada akhirnya menjatuhkan mereka. Empat hari kemudian, yaitu pada tanggal 22 Februari 1943, mereka dibawa ke pengadilan rakyat (Volksgerischtshof) dan diadili oleh seorang hakim yang bernama Roland Friesler yang sengaja didatangkan dari Berlin. Roland Friesler terkenal dengan sikapnya yang berlebihan ketika mengadili seorang tersangka sehingga membuat ketiganya dituntut hukuman mati. Ketika masing-masing dari mereka diminta memberi pembelaan terakhir, Christoph Probst meminta agar dia diampuni karena dia memiliki tiga orang anak. Sophie dan Hans yang mendengar permintaan Christoph menyetujui permintaanya agar dia diampuni dan hakim hanya mengadili mereka berdua saja. Namun keputusan tetaplah keputusan, ketiganya tetap diadili hukuman mati oleh eksekutor Johann Reichhart dengan cara dipancung menggunakan Guillotine di Munich's Stadelheim Prison pada pukul 17.00.

Kisah perjuangan Sophie Scholl dan Hans Scholl diangkat dalam sebuah layar lebar di Jerman pada tahun 2005 berjudul Sophie Scholl: Die Letzten Tage. Film tersebut diperankan oleh aktris Jerman bernama Julia Jentsch yang berperan sebagai Sophie. Julia Jentsch berhasil memerankan Sophie Scholl dengan penuh penghayatan yang membuat penonton ikut larut dalam ketegangannya. Pembuatan film Sophie Scholl ini mengingatkan kita akan perjuangan seorang mahasiswa yang menginginkan keadilan di negerinya sendiri, dimana rakyat Jerman kebanyakan tidak berani menentang pemerintahan yang tidak berprikemanusiaan pada saat itu. Sophie Scholl sendiri bukanlah seorang Yahudi, apalagi cacat mental atau fisik, dia adalah seorang warga negara asli Jerman beragama Kristen tetapi karena dia seorang aktivis anti-NAZI, maka dengan terpaksa, NAZI menangkap dan membunuhnya.